Wednesday, February 1, 2012

Agrarian Transformation in Indonesia

DARI MASA KE MASA:
PERJALANAN TRANSFORMASI AGRARIA DI INDONESIA*
Yunindyawati/I363100011**

Pendahuluan
Memahami transformasi agrarian di Indonesia rasanya perlu melihat akar sejarah perkembangan dan perjalanan dunia dalam meletakkan dasar kehidupan yang demokratis. Hal ini perlu karena sejarah kehidupan yang demokratis di dunia ini ternyata dibangun oleh salah satunya adalah tata kuasa agrarian. Hampir semua kota di belahan dunia ini berawal dari sebuah desa dimana ada pola penguasaan, tata hubungan dalam pengelolaan sumber-sumber agrarian antara petani, tuan tanah dan penguasa. Pola hubungan antara tuan tanah dan petani dalam sebuah Negara menjadi pilar terbentuknya sebuah struktur social. Struktur ini yang akan menentukan arah perjalanan sebuah Negara, bagaimana Negara dibangun serta menjadi dasar perjalananan menuju dunia yang lebih modern.
Dalam buku Social origins of dictatorship and democracy: lord and peasant in the making of the modern world, Barrington Moore menjelaskan bagaimana asal social kediktatoran dan demokrasi; Tuan tanah dan petani dalam pembuatan dunia modern. Tampaknya industrialisasi sebagaimana terjadi di Inggris maupun Perancis menjadi stand point bagi pembentukan dunia modern. Secara historis proses terjadinya industrialisasi  selalu berkaitan dengan perubahan revolusioner dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan karena enlightment, kebebasan ekonomi pasar, perubahan rezim agrarian serta proses interaksi antar manusia mengalami perubahan. Konsekuensinya adalah terjadi struktur social politik yang baru sebagai hasil perubahan revolusioner di berbagai aspek kehidupan.
Dalam buku ini Moore memfokuskan kajiannya pada kondisi untuk sosiogenesis bagi rezim demokrasi, fasis dan komunis. Dia melihat bagaimana rezim-rezim ini muncul sebagai hasil dari proses kekerasan yang terjadi dalam masyarakat di berbagai dunia (enam Negara)  yang dia teliti. Oleh karena itu landasan yang dipakai tulisannya tampaknya adalah analisis historis komparatif.
Secara historis sejarah Negara, penting untuk menjelaskan pergeseran dan perubahan kekuasaan dalam masyarakat. Fase terjadinya modernisasi diawali oleh adanya komersialisasi pertanian, dari pertanian yang hanya untuk subsisten menuju pertanian cash crop. Perubahan ini membawa dampak pada rasionalisasi ekonomi sebagaimana terjadi di Perancis.  Pada saat terjadi pergeseran mau tak mau terjadi perubahan yang revolusioner dan memakan biaya tinggi. Baik biaya social maupun biaya ekonomi.
Di Inggris, pengaruh dari implus borjuis mengubah sikap sebagian elit terhadap pertanian komersial.  Perubahaan pola penguasaan tanah dan kepemilikan membawa konsekuensi privatisasi lahan oleh kaum borjuis yang karena rasionalisasi ekonomi lebih memilih efisiensi dalam produksi pertaniannya. Kondisi ini menyebabkan penghancuran kaum tani kecil yang selama ini hidupnya tergantung pada tuan tanah. Di Amerika serikat kemenangan Elit petani menjadi jalan untuk modernitas. Akuisisi “tingtur’ bisnis di perkotaan mendorong mereka menjadi kapitalis, dengan melakukan akumulasi modal.
Baik di Inggris, Perancis maupun Amerika Serikat terjadi transformasi hubungan social agrarian pra industry menuju modern bermula dari proses industrialisasi dan perubahan struktur social masyarakat. Rute yang ditempuh memiliki kesamaan terutama pada bagaimana perubahan pola hubungan social ekonomi elit petani dan petani membawa perubahan pada rasionalisasi ekonomi dan dari segi politik mengarahkan pada fase demokratisasi peradaban (ekonomi politik dan lainnya) melalui masa transisi (revolusi petani -borjuis).
Sementara itu, di Jepang dan Jerman modernitas ditempuh melalui fasisme. Pengaruh borjuis tidak terjadi sebagaimana di Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Yang terjadi di jepang modernitas industry tidak mengalami masa transisi tetapi lebih karena adanya intervensi industry yang diintroduksikan ke dunia pertanian. Pemerasan terhadap buruh tani dilakukan untuk akumulasi modal yang diperlukan untuk modernisasi. Karenanya revolusi  yang terjadi bukan dari petani tetapi dari atas dengan membangun aliansi  petani dan pemilik tanah yang kuat untuk mencapai puncak fasisme.
Sementara di China kekuatan petani berhadapan dengan borjuis dan elit mengakibatkan revolusi China. Pada proses revolusi tersebut petani beraliansi dengan borjuasi lemah dengan membentuk revolusi dari bawah. Tampaknya Moore, membedakan tiga rute perjalanan Negara-negara menuju demokrasi;

Rute menuju modern
Negara yang mengalami
Actor yang berperan
Pola perubahan
Demokrasi kapitalis
Inggris, Perancis, AS
Borjuasi kuat /kelas menengah
Revolusi Puritan
Fasisme
Jepang, Jerman
Negara , aliansi petani dan borjuasi lemah
Revolusi dari atas
Komunisme
China
Petani dan borjuasi borjuasi lemah
Revolusi dari bawah


Sementara itu, Peter Worsley dalam buku the Three Worlds; Culture and world development mencoba melihat dan menggambarkan bagaimana unsure pembangunan, budaya dan politik serta ekonomi di jaman pra sejarah hingga sekarang dengan menggunakan sintesa pendekatan Marxian digabungkan dengan antropologi social dan budaya. Dalam upaya tersebut; dia mengidentifikasi seperangkat nilai-nilai bersama sebagai elemen kunci yang selama ini di miliki oleh masyarakat tradisional telah hilang dan lebih mengutamakan kepada sosiologi pembangunan. Worsley melihat nilai-nilai bersama pada bentuk organisasi pedesaan, kaum miskin perkotaan hubungan etnisitas dan nasionalisme serta kelas social. Selanjutnya Worsley membahas mengenai dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki serta bagaimana pembentukannya.
Secara factual penyebutan Negara pertama, kedua dan ketiga menjadi kurang relevan lagi. Yang muncul sekarang adalah Negara maju (developed countries) dan  (developing countries) Negara sedang berkembang.  Negara bekas koloni  atau  Negara berkembang setelah merdeka berupaya mengejar ketertinggalan dari Negara maju dengan mengadopsi konsep development (pembangunan).
Diilhami teori Darwinism pembangunan menerapkan prinsip-prinsip evolusi dalam perkembangan pembangunan. Setelah tahun 1945 dengan munculnya Negara-negara baru, dan dengan segera disebut dunia ketiga, menggunakan pembangunan ekonomi sebagai upaya meningkatkan status masyarakatnya. Pada tahun 1960, WW Rostow memberikan formulasi teori pembangunan yang dikenal sebagai tahapan pertumbuhan ekonomi; diadopsi hampir oleh semua Negara dunia ketiga.
Konsep pembangunan muncul setelah perang dunia kedua, selanjutnya sejarah manusia adalah sejarah pembangunan. Pengetahuan menyebutkan bahwa dunia ini tidak statis, ia akan terus bertransformasi baik dalam bentuk ideology maupun kondisi fisik. Menurut teori perubahan social, perubahan social bisa menyangkut struktur social maupun nilai-nilai cultural.  Perubahan ini menjadi penting dari kaca mata sosiologi dimana akan menghasilkan teori perubahan social.
Perubahan tatanan dunia menjadi sangat revolusioner dan terlihat jelas semenjak munculnya kapitalisme modern. Masuknya kapitalisme modern ke institusi social membuat tatanan dunia menjadi demikian berubah. Awalnya dipicu adanya revolusi industry  dengan penerapan teknologi  dan mesin-mesin mendorong transformasi institusi social, politik dan ekonomi. Dinamika industry kapitalis eropa bermula dari bentuk konservatif menuju kebebasan merupakan suatu realitas baru yang medorong kapitalisme. Kapitalisme ini merayah ke seluruh dunia dan menjadi factor menentu dalam identifikasi pembentukan Negara.
Penyebaran kapitalisme barat paralel dengan transformasi kehidupan social global dan berakibat pada adopsi niali-nilai barat oleh Negara di luar barat. Secara radikal yang terjadi kemudian adalah ada Negara kaya modal dan miskin modal. Selanjutnya pola pertumbuhan ekonomi ini dikritik oleh kaum Marxian karena dianggap sebagai upaya hegemoni barat (dunia pertama) untuk memarjinalkan dan mensubordinasi. Upaya yang ditempuh adalah menciptakan ketergantungan ekonomi Negara dunia ketiga terhadap dunia pertama.
Menurut perspektif Marxis penjajahan ekonomi merupakan imperialism gaya baru, sebagai penundukan kelas atas (super struktur terhadap kelas bawah, based struktur). Upaya yang dilakukan dengan membentuk formasi social melalui peran mode of production antar superstruktur dan base. Negara dominan secara ideology dan juridis politis menggunakan mode of production untuk menguasai Negara dunia ke tiga.
Benang merah antara tulisan Moore dan Worsley dalam tulisan ini adalah sejarah Negara-negara menuju kehidupan yang modern demokratis serta bisa menjadi Negara dominan sebagaimana terjadi di Negara besar merupakan hasil proses yang panjang melalui trajectory yang dibentuk oleh pola hubungan agrarian, penguasa serta nilai-nilai/ideology yang mendasari sebuah struktur. Dalam kaitannya dengan kondisi agrarian, tampaknya selalu terjadi dari dulu hingga sekarang bahwa persoalan agrarian adalah persoalan perebutan sumber daya antar manusia (homo homini lupus) antara petani, tuan tanah (pemodal) dan penguasa (Negara). Pada tingkat internasional yang terjadi kemudian adalah tumbuhnya Negara maju yang menciptakan ketergantungan Negara berkembang demi mendapatkan hasil ekonomi dari sumber-sumber agrarian yang terdapat di Negara berkembang.
Transformasi agrarian di Indonesia    
Sejarah agrarian di Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah berkehidupan dan berkebangsaan. Sebagaimana diketahui sebelum dijajah oleh para penjajah (pra colonial), hubungan agrarian antara penduduk satu dan penduduk lain; antara komunitas lain; antara penduduk dan elit (desa); antara elit kerajaan dan yang lainya. Tauchid (1952) menekankan bahwa pola hubungan agraris di Indonesia mengikuti pola hubungan feudal di dalam kerajaan yaitu tanah dan rakyat adalah milik raja. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta dan sekitarnya tanah diklaim sebagai milik sultan dan sunan. Begitu pula yang terjadi di beberapa wilayah kerajaan lainnya. Pada periode colonial, tahun 1800an merupakan awal  munculnya kebijakan agrarian secara formal yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Pada saat itu Raffles menerapkan sistem sewa tanah, Van den Bosch sistem tanam paksa sampai dikeluarkan UU agrarian 1870.
Pada masa pasca kemerdekaan,  kondisi agrarian diwarnai oleh kondisi perekonomian perkebunan warisan colonial sebagai akibat pelaksanaan UU agrarian 1870 sebagai konsekuensi   pasal II aturan peralihan UUD 1945 menyatakan segala badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang. Walaupun demikian pelaksanaan kebijakan agrarian tetap berpedoman pada UUD 1945 terutama pasal 33 (Suhendar, 1998). Terjadi perbedaan pendapat di tingkat nasional antara partai politik, dalam menghadapi kondisi agrarian pada saat rakyat menduduki tanah-tanah bekas perkebunan asing. Pendapat pertama kelompok moderat yang setuju untuk mempertahankan onderneming dan kelompok kedua kelompok nasionalis yang setuju agrarian dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri. Perbedaan pendapat tersebut dalam banyak hal menyebabkan terjadinya kasus sengketa tanah berkepanjangan. Salah satunya adalah peristiwa Tanjung Morawa tahun 1953 (Pelzer dalam Suhendar,1998).
Kondisi tersebut mendorong para pendiri Negara untuk memiliki kebijakan agrarian sendiri agar bisa melindungi rakyat. Akhirnya pada tahun 1960 lahirlah UUPA dan berhasil disahkan. Namun dalam pelaksanaanya dihadapkan pada timpangnya struktur penguasaan tanah terutama di Jawa, akhirnya reforma agrarian tidak berjalan mulus. Kemudian 13 januari 1960 ditegaskan perlunya land reform untuk menghapuskan tuan-tuan tanah, mengurangi buruh tani, dan memberikan tanah pada mereka yang mengerjakan sendiri.
Namun land reform mengalami kegagalan karena PKI menginginkan agar ada aksi sepihak bahwa semua tanah yang dimilki oleh orang asing atau pemilik tanah orang Indonesia yang memiliki tanah luas di ambil alih dan dibagikan kepada petani secara Cuma-Cuma tanpa ganti rugi. Aksi sepihak ini dianggap sebagai cara yang adil dan legal untuk menerapkan UUPA dan UUPBH. Karena tindakan ini terjadi ketegangan antara PKI berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam kaum nasionalis dan militer (Rajaguguk; 1995).
Perkembangan selanjutnya pada era orde baru, land reform dianggap sebagai kebijakan yang menimbulkan konflik berkepanjangan, maka land reform dihentikan. Kebijakan ini kemudian dialihkan kepada kebijakan transmigrasi yang termanifestasikan dalm UU transmigrasi 1972. Pada era orde baru tahun 1967 pemerintah mengeluarkan UU-PMA dan UU-PMDN untuk mendapatkan dana cepat.
Kebijakan ini menjadi pintu masuk bagi kapitalis agrarian yang ditandai dengan beralihnya penguasaan aset produksi agrarian dari petani penggarap tanah menjadi dikelola satuan usaha besar. Selain itu muncul monopoli sector agrarian; baik melalui pemerintah maupun dukungan lembaga pemerintah. Contohnya program PIR dan BPPC. Akibat lain yaitu hilangnya hak-hak tradisional yang ditandai pengabaian hokum adat yang tidak memiliki sertifikat sehingga daerah-daerah adat tergusur oleh hak penguasaan sumber daya tertentu seperti HPH dan HTI. Selain itu terjadikonsentrasi penguasaan asset produksi; kea rah konsentrasi penguasaan di tangan orang-orang tertentu khususnya pemodal swasta. Hingga 1993 tercatat 64.291.436 hektar tanah dikuasai oleh kurang lebih 570 perusahaan pemegang HPH swasta atau setiap perusahaan itu memegang 110 hektar. Sementara itu di perkebunan besar tercatat 709 perusahaan swasta, 388 BUMN, 48 perusahaan PMA, 21 perusahaan joint venture, da 40 BUMD telah menguasai hamper 3,80 juta hektar lahan (Suhendar, 1998).
Gambaran di atas menunjukan bagai sejarah agrarian di Indonesia ditandai oleh adanya pola hubungan yang senantiasa tidak seimbang,timpang bahkan eksploitatif. Jika dibandingkan dengan sejarah perjalan di Negara-negara yang diteliti Moore dimana mereka memiliki trajectory yang jelas untuk membangunn arah berlangsungnya Negara, maka di Indonesia yang terjadi adalah perebutan sumber agrarian oleh kelompok kuat dari rakyat. Kelompok kuat ini bisa berupa raja, colonial, partai politik kuat, dan kapitalis (pemodal) baik dalam maupun luar negeri.
Tampaknya memang Negara ini di bangun oleh kekuatan yang saling bertengkar, bertarung demi kepentingan masing-masing. Bukan dibangun oleh kekuatan  bersama menuju Negara yang egaliter berkeadilan, modern dan demokratis. Karenanya upaya memetakan seperti apa trajektori agrarian di Indonesia akan tidak bisa menemukan model seperti di negara maju. Yang bisa dipetakan barangkali trajectory agrarian di Indonesia berawal dari sumber agrarian dikuasai kekuatan kerajaan berpindah pada kekuasaan colonial, kemudian masuk pada kepentingan elit politik dan di era orde baru hingga sekarang dicengkeram oleh kapitalis dalam dan luar negeri. Posisi rakyat hanya sebagai    penonton dan pekerja yang dieksploitasi demi kepentingan kekuatan dan kekuasaan mereka.
          Penanda transformasi agrarian di Indonesia:

Periode/dimensi waktu
Penanda reforma agrarian
Pra colonial sebelum 1800an
pola hubungan agraris di Indonesia mengikuti pola hubungan feudal di dalam kerajaan yaitu tanah dan rakyat adalah milik raja
Raffles
Sistem sewa tanah
Van den Bosch
Sistem tanam paksa
Tahun 1870 Daendels
Dikeluarkan UU agraria
13 Januari 1960
Land reform
Tahun 1960
Pengesahan UUPA
Tahun 1967

pemerintah mengeluarkan UU-PMA dan UU-PMDN untuk mendapatkan dana cepat.
Tahun 1972
UU pokok transmigrasi penggantikebijakan land reformyang dianggap gagal
TAP MPR no 4 tahun 1978
Pengukuhan kembali UUPA
Kepmen pertanahan no 5 tahun 1999
Sertifikasi tanah komunal
TAP MPR no 9 tahun 2001

Kepres no 34 tahun 2003

Perpres  no 36 tahun 2005

Perpres no 10/2006
Pengelolaan kebijakan pertanahan


Jika dilihat dari perspektif sosiologis, banyak studi yang menunjukkan bagaimana pola hubungan agrarian yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Seperti studi yang dilakukan oleh James C Scott, Clifford Geertz, Boeke, Pelzer, Hayami Kikuchi, dan Amaludin dll.  Untuk lebih ringkas studi mereka dapat dilihat pada table berikut;



Nama peneliti
Hasil temuan yang berkaitan dengan pola hubungan agraria
James C Scott
Munculnya kekuasaan Negara serta semakin merasuknya kapitalisme  dan komersialisasi merupakan ancaman terhadap pola subsistensi petani.  Moral ekonomi petani enggan berisika dann lebih mengutaman subsistensi dimana ada norma resiprositas yang menjaga kelangnsungan subsistensi.
Clifford Geertz
Ada hubungan langsung antara sistem tanam paksa dan terjadinya involusi agrarian dan shared poverty di Jawa. Stratifikasi yang didasarkan pada kepemilikan tanah di desa tidak mencerminan ketidaksamaan. Ada mekanisme pembagian pendapatan yang mempertahankan derajat homogenitas social ekonomi atau adanya prinsip (shared poverty) pembagian kemiskinan bersama.
Boeke
Penduduk desa hidup dalam dua pola ekonomi yaitu ekonomi tradisional dan ekonomi modern. Pola ekonomi tradisional membatasi kebutuhan social penduduk desa dengan kebutuhan ekonominyadan menyebabkan mereka terpisah dari ekonomi modern. Akibatnya potensi untuk berkembang ditemukan pada segelintir kelompok lapisan atasdesa yang berhasil memasuki perekonomian uang
Pelzer
Buruh dan penduduk liar yang bertahun-tahun menunggu hak milik bekas onderneming, harus berhadapan dengan elit militer dalam kasus sengketa tanah di Sumatera Timur
Hayami Kikuchi
Melihat masyarakat petani ke dalam struktur dan proses terjadinya perubahan agraris. Perubahan pola produksi dan distribusi pendapatan pada komunitas pedesaan melibatkan perubahan besar kelembagaan desa seperti hak milik atas kekayaan dan penetapan perjanjian yang berlaku di desa. Stratifikasi petani muncul akibat masuknya sistem kapitalis pedesaan.
Amaludin
Polarisasi pertanian


Dari kajian sosiologis dari para peneliti bisa ditarik sebuah kesimpulan sementara bahwa dari jaman pra colonial, colonial, masa kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga sekarang ini; pola hubungan  agrarian ditandai adanya proses pergeseran dari tata hubungan subsistensi (petani-dan tuan tanah), komersialisasi pertanian menuju kapitalisasi pertanian (pemilik modal asing maupundalam negeri). Satu hal yang bisa dijadikan pemahaman bahwa rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup dari satu penindasan ke penindasan lain. Yang berubah adalah siapa yang berkuasa terhadap akses sumber agrarian dan rakyat tetap menjadi rakyat yang selalu terpinggirkan, tertindas dan miskin sumber agrarian.
Sumber bacaan;
Moore, Barrington, 1967. Social origins of dictatorship and democracy: Lord and peasant in the making of the modern world. Boston; Beacon Press
Rajagukguk, Erman. 1995, Hukum Agraria, Pola penguasaan tanah dan Kebutuhan hidup, Jakarta: Chandra Pratama

Soetarto, Endriatmo, 2006, Elit dan Rakyat, Yogyakarta, Lapera
Suryo, Djoko, 2009, Transformasi Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: STPN
Suhendar, Endang, 2002. Menuju Keadilan Agraria, Bandung: Akatiga
_______________, 1997. Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga
Tauchid, M, 2009. Masalah agrarian, Yogyakarta: STPN
Worsley; Peter. 1984. The Three Worlds; Culture and world development; London: George Weidenfeld & Nicolson Ltd

No comments:

Post a Comment