Wednesday, February 1, 2012

diskursus perubahan iklim: kriti teori ekologmodernisasi

Diskursus Perubahan Iklim dan Kepentingan Ekonomi Politik Kapital
 (Telaah Kritis terhadap teori Modernisasi Ekologi)*

Yunindyawati/SPD/I363100011**

A.    Pendahuluan
Makalah ini membahas tentang perubahan iklim dikaitkan dengan kepentingan ekonomi politik capital yang mengiringi dan mengawalnya dengan menggunakan paradigma kritis. Untuk keperluan tersebut, referensi utama yang dijadikan acuan adalah buku Michael R. Redclift  yang berjudul The International Handbook of Environmental Sociology dan buku M.Gross & H. Heinrich berjudul Environmental Sociology: European Perspectives and Interdisciplinary Challenges. Tidak semua chapter hendak dibahas, hanya yang berhubungan dengan teori modernisasi ekologi dan perubahan iklim. Teori modernisasi ekologi ditulis oleh Arthur J Mol;  Ecological modernization as a social theory of environmental reform serta tulisan Richard York, Eugene A. Rosa & Thomas Dietz: Ecological Modernization Theory: theoretical and empirical challenges. Sementara wacana perubahan iklim ditulis oleh Michael R. Redclift : The transition out of carbon dependence: the crises of environment and markets.
Dalam tulisannya Arthur J.Mol (chapter 4) menjelaskan sejarah analisis tiga generasi dari ilmu social yang memberi kontribusi untuk memahami perbaikan lingkungan, yakni dengan melakukan analisis kebijakan Negara berkaitan dengan lingkungan, mempelajari lembaga swadaya (NGOs) dan protes yang dilakukan, sikap ekologi individu  dan hubungan dengan perilaku. Pertama ; masalah dan krisis lingkungan dikonsepsikan sebagai kegagalan pasar (kapitalis), kegagalan kepentingan institusi ekologi Negara. Karena itu mendorong  ilmu social dan politik untuk menganalisis dan meneliti proses perbaikan lingkungan. Dalam perspektif neo Marxian, krisis lingkungan sangat berhubungan dengan sruktur ekonomi kapitalis dan “Negara kapitalis” yang tidak mampu merubah struktur ekonomi kapitalis. Ilmu sosiologi lingkungan dan politik, menganalisis Negara lingkungan sebagai kritik penting bagi perbaikan lingkungan, dimana dalam kebijakan terdapat kasus tragedy of the common/free rider. 
Kedua, gerakan lingkungan oleh NGOs dan masyarakat sipil untuk perbaikan lingkungan menjadi objek penelitian social. Protes dan perlawanan dilihat sebagai akar fundamental, dimana kontribusi penting gerakan lingkungan untuk perbaikan institusi modern agar bisa melawan dominasi ekonomi melalui kampanye melawan poluter dengan melakukan lobi dan mempengaruhi proses politik,atau melalui peningkatan kesadaran perubahan sikap warga Negara dan consumer. Ketiga, studi perbaikan lingkungan melalui penelitian pada  lingkungan nilai, sikap dan perilaku.
Dinamika proses perbaikan lingkungan di era modern dikenal sebagai modernisasi ekologi. Ide dasar modernisasi ekologi adalah bahwa di akhir millenium dua masyarakat modern  tergerak untuk memperhatikan kepentingan ekologi, menggagas dan mempertimbangkannya dalam desain institusi mereka. Karenanya Stuktur ekologi menginspirasi proses transformasi dan perbaikan institusi modern.
Dalam perspektif modernisasi ekologi perbaikan lingkungan dapat dikategorikan dalam lima tema;  pertama, peran ilmu dan teknologi dalam perbaikan lingkungan. Perbaikan lingkungan melalui perbaikan teknologi dengan pendekatan sosioteknologi. Kedua, pentingnya pertumbuhan dan pengaruh ekonomi, dinamika pasar, institusi dan agen dalam perbaikan lingkungan. Ketiga, perubahan peran, posisi dan performan “lingkungan” Negara. Keempat, modifikasi posisi, peran dan ideology gerakan social dalam proses pentingnya transformasi ekologi sebagai tema dalam modernisasi ekologi. Kelima, pentingnya perubahan praktek discursive dan pentingnya ideology baru dalam arena politik dan social.
Studi modernisasi ekologi digagas tahun 1980an dan matang sebagai tradisi penelitian pada tahun 1990an, tahun-tahun terakhir memiliki sejumlah trend baru sebagai formulasi hasil penelitian. Pertama, terdapat peningkatan sejumlah agenda riset pada modernisasi ekologi dari praktik konsumsi. Kedua, tren utama studi modernisasi ekologi berkaitan dengan kepentingan kerangka kerja geografi OECD. Ketiga, riset modernisasi ekologi berkembang tidak hanya pada tingkat Negara tetapi meningkat ke tataran regional dan global. Sebagai sebuah perspektif (teoritis) ide-ide dan studi modernisasi ekologi juga mendapatkan berbagai kritik dari gagasan yang bertentangan. 
Adalah Manuel Castell, John Urry, Saskia Sassen, di pertengahan tahun 1990an menggagas adanya perspektif social baru, sebuah teori social baru atau “ aturan baru pada metode sosiologi”  yang dikenal sebagai sosiologi jaringan dan aliran (networks and flows). Persoalan krusial yang dikembangkan sosiologi jaringan dan aliran adalah pergantian dari Negara dan masyarakat sebagai unit sentral dan konsep analisis kepada jaringan dan aliran modal, orang, uang, informasi, image, barang/material dan sejenisnya. Sosiologi jaringan dan aliran ini menginspirasi sebuah perubahan perspektif dan studi, agenda perbaikan lingkungan.
Dalam kaitan lingkungan dengan jaringan dan aliran global, Castell mendiskusikan adanya ketidakseimbangan dan relasi kekuasaan antara gerakan lingkungan melawan actor-aktor dari aliran ruang (ekonomi).  Sosiologi lingkungan perspektif jaringan dan aliran mempunyai dua konsep operasional yakni ketidakseimbangan dan kekuasaan. Pertama, menaruh perhatian pada kondisi untuk mengakses aliran lingkungan dan jaringan  struktur strategi aliran lingkungan (grup, actor, organisasi). Kedua, kekuasaan dan ketidakseimbangan dalam perspektif aliran sosiologi lingkungan juga berhubungan dengan aliran modal, informasi, image dan struktur personal, condisi dan ketidakbisaan perbaikan lingkungan. 
Sementara itu Richard York, Eugene A. Rosa & Thomas Dietz  (chapter 5) menjelaskan teori modernisasi ekologi: perubahan teori dan empiris. Menurut mereka, modernisasi --umumnya untuk mengartikan efek gabungan industrialisasi (akhir-akhir ini post industrial), pertumbuhan ekonomi, ekspansi pasar, urbanisasi, globalisasi, akselerasi ilmu dan pekembangan ilmu dan teknologi—telah menghasilkan masalah lingkungan yang unik dalam sejarah manusia pada skala, bentuk dan perbedaan. Ada dua perspektif berbeda dalam kaitan modernisasi dan ekologi. Pertama, modernisasi anti ekologi (sistem kapitalis yang mendorong pertumbuhan ekonomi). Kedua, modernisasi bisa beradaptasi dan mampu menjaga keberlanjutan ekologi. Kedua perspektif ini menjadi perdebatan sengit dalam literature sosiologi lingkungan. Pandangan bahwa modernisasi bisa menyelesaikan masalah lingkungan dikenal dengan teori modernisasi ekologi (EMT).
Dalam konteks sosiologi lingkungan, modernisasi menyebabkan degradasi lingkungan (neo Marxian). Teori sistem dunia (WST) menggunakan pendekatan neo Marxist untuk melihat sejarah peran penting kapitalisme dalam dominasi dan mengendalikan proses ekonomi dunia. Kerusakan institusi  praktik ekologi berkaitan dengan aspek-aspek modernisasi: kapitalisme, globalisasi, industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, militerisasi, ketidakseimbangan relasi perdagangan dan distribusi.
Dari kubu EMT menolak kritik neo arxian dengan berargumen bahwa EMT memiliki perspektif alternative dalam memecahkan persoalan lingkungan dengan menyatakan bahwa krisis lingkungan bias diselesaikan sejalan dengan proses modernisasi itu sendiri. Spaargaren dan Mol (1997) menyatakan   krisis lingkungan dapat dan bisa diselesaikan melalui institusi modern (ekologi rasionalitas sebagai kunci).  EMT memberikan proposisi bahwa institusi modern termasuk MNC dan Negara bertindak dengan kepentingan yang dimilikinya, menempatkan pusat perhatian pada ekologi. Transformasi perbaikan ekologi dilakukan tanpa harus terjadi perubahan social radikal, politik dan ekonomi.
EMT juga berargumentasi bahwa memperbaiki lingkungan melalui ecoeffisiensi untuk mengurangi materialisasi dalam produksi. Penemuan teknologi dapat membantu mengatasi persoalan lingkungan tanpa mengubah struktur ekonomi dan variasi substitusi sumber daya untuk mengurangi konsumsi dan emsi polusi. EMT disangsikan argumentasinya dengan mempertanyakan apakah perbaikan yang dilakukan itu nyata atau hanya symbol belaka.  Dalam konteks empiris, fakta bahwa industry dan organisasi menyatu dalam sistem ekonomi yang lebih besar, Negara, (teori sistem dunia) menyatu dalam sebuah sistem besar dunia melalui mana aliran sumber daya dan sampah. Penelitian York dkk secara jelas menunjukkan hubunan positif antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan.
Senada dengan keraguan terhadap teori modernisasi ekologi (EMT), tulisan ini mengambil posisi mengkritisi EMT dengan isu diskursus perubahan iklim (climate change) yang menjadi wacana global pada tiga tahun terakhir,dengan pertanyaan (Research question)
1.      Apakah ada hubungan antara diskursus perubahan iklim dan kepentingan ekonomi politik capital
2.      Bagaimana mekanisme bekerjanya  kepentingan sistem ekonomi capital dalam diskursus perubahan iklim

B.     Kerangka Analisis
Kerangka analisis dalam tulisan ini dimaksudkan untuk membantu menganalisis dengan menggunakan konsep analisis wacana (discourse analysis), pengetahuan dan kekuasaan (foucoult),  hegemoni (Gramsci), serta teori ketergantungan akan digunakan untuk membantu menganalisis hubungan antara diskursus perubahan iklim dan kepentingan ekonomi politik kapitalis.
Adalah Michel Foucoult, yang mengatakan adanya kaitan antara pengetahuan an kekuasaan, mengadopsi pemikiran Nietzsche. Ada dua inti metodologi Foucoult; arkeologi ilmu pengetahuan dan geneologi kekuasaan. Secara spesifik arkeologi melibatkan analisis empiris terhadap sejarah sedangkan genealogi menjalankan serangkaian analisis kritis terhadap diskursus historis dan hubungannya dengan isu-isu yang menjadi perhatian dunia kontemporer. Teori yang dikembangkan dikenal dengan diskursus analisis.  Dasar teori yang dikembangkan adalah kekuasaan dan struktur social.  Kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) membentuk relasi yang dapat dengan sengaja melahirkan diskursus baru. Bahasa adalah mediator, wacana adalah ucapan untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar, kalimat unsure terkecil dari wacana. Wacana diperkuat dengan tulisan teks. Dalam konteks tulisan ini akan digunakan dalam melihat wacana perubahan iklim sebagai bentuk pengetahuan baru yang dikonstruksi oleh kekuasaan kapitalisme global.
Sementara itu, Gramsci dengan teori hegemoninya akan dimainkan dalam menganalisis bagaimana  isu diskursus perubahan iklim dibungkus oleh adanya kepentingan ekonomi politik kapitalis. Hegemoni menurut Gramsci adalah aturan ideologis disamping sebagai aturan militer,  sebagai kontrol ide-ide dominan disamping sebagai kontrol produksi.
Untuk membahas Dimensi ekonomi politik spasial, akan dijelaskan melalui teori keterbelakangan dan ketergantungan dari Galtung, Baran, Frank, Cardoso. Perspektif teori ketergantungan, menyebutkan bahwa ketertinggalan sebuah kawasan biasanya bisa dijelaskan oleh munculnya persoalan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pertukaran (ekonomi) yang berlangsung antar kawasan (relasi pertukaran Negara maju vs Negara berkembang).
Dalam analisis neo Marxian, pertukaran yang tidak seimbang berlangsung antara actor ekonomi (Negara) berbeda kelas. Ketimpangan pertukaran mengarah pada ketergantungan (dependency theory).



C.    Pembahasan
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat dunia merasakan perubahan iklim global (PIG), yang ditandai dengan proses pemanasan global dan  ketidakteraturan iklim. Secara umum perubahan iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara  serta parameter iklim lainnya. Perubahan iklim terjadi akibat proses pemanasan global yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer. Akumulasi panas terjadi akibat efek rumah kaca (ERK) dan gas rumah kaca (GRK),  di atmosfer bumi. 
Dalam protocol Kyoto, terdapat enam jenis gas rumah kaca  yaitu karbondioksida  (CO2), nitroktida (N­2O), methane (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perflurocarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). Sejak revolusi industry pertengahan abad 19 telah meningkatkan emisi gas rumah kaca melalui berbagai kegiatan manusia. Pemanfaatan energy fosil, terutama minyak bumi, gas bumi, batubara yang  berlebihan, sector pertanian dan peternakan memberi kontribusi emisi GRK (CH4 dan N2O).
Dampak dari perubahan iklim antara lain; pencairan lapisan es (peningkatan permukaan air laut), pergeseran musim, tidak menentunya pola curah hujan (banjir, longsor), menurunnya produksi pangan,memburuknya kualitas air tanah perkotaan akibat intrusi air laut, ketidakmampuan beberapa jenis flora dan fauna untuk beradaptasi (perubahan komposisi ekologi hutan), meningkatnya frekuensi penyakit tropis (malaria, demam berdarah). Perkembangan inilah yang mendorong terbentuknya Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang berperan menyediakan data ilmiah terkini, tidak berpihak transparan, mengenai informasi teknis social ekonomi yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Konvensi PBB mengenai perubahan iklim di tandatangani di konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada bulan Juni 1992. Setelah diratifikasi sekitar 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994 konvensi perubahan iklim menjadi memiliki kekuatan hokum dan bersifat mengikat terhadap Negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia. Konvensi ini membagi pihak (Negara) menjadi dua kelompok yaitu; Negara industry dan ekonomi transisi terdaftar dalam Annex I dan Negara sedang berkembang dengan sebutan non Annex.
Diskursus perubahan iklim terus didorong dengan adanya protocol Kyoto; sebuah upaya serius dalam menghadapi perubahan iklim. Secara hukum protocol Kyoto mewajibkan Negara Annex I menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Namun pada intinya protocol Kyoto berusaha meringankan beban Negara maju melalui tiga cara yaitu; mekanisme pembangunan bersih (CDM), pelaksanaan bersama (joint implementation), dan perdagangan karbon. Cara-cara tersebut dianggap “menguntungkan” bagi Negara berkembang (non Annex), karena melalui CDM, Negara Annex I membantu beberapa proyek pembangunan di Negara berkembang.
Dalam konteks Gramci, disinilah sebenarnya hegemoni berlangsung. Disaat isu perubahan iklim digulirkan maka seluruh Negara harus bertanggung jawab dengan keadaan ini. “ perubahan iklim adalah masalah bersama dan diselesaikan secara bersama” merupakan hegemoni paling ampuh. Hegemoni ini digulirkan oleh Negara industry maju dengan kepentingan ekonomi politiknya. Hegemoni  dilakukan melalui cara-cara: membuat diskursus perubahan iklim sebagai masalah paling serius untuk kelangsungan hidup manusia. Diskursus ini dikemas dengan menampilkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai justifikasinya (dengan membentuk konferensi, panel dll). Tak pelak Negara maju yang lebih superior di bidang ilmu dan pengetahuan yang akan menentukan arah kebijakan dan mencari celah (space) yang menguntungkan. Bagi Negara berkembang ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menjadi “ruang kosong” yang siap diterkam oleh Negara maju.
Gambaran inilah yang oleh Michel Foucoult disebut sebagai pertautan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kekuasaan Negara maju diperoleh melalui penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mampu menggelindingkan diskursus-diskursus tertentu sebagai isu global yang menguntungkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, dalam protocol Kyoto clean development mechanism (CDM) dianggap merupakan satu-satunya mekanisme Negara berkembang untuk membantu Negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK. Tapi ternyata peran CDM bukan hanya dalam mitigasi GRK seperti yang tercantum dalam artikel 12 protokol Kyoto, tujuan CDM adalah: pertama, membantu Negara berkembang melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama konvensi perubahan iklim. Kedua, membantu Negara Annex I atau Negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya. Hubungan antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan dapat dilihat pada bagan berikut;
Relasi kekuasaan dan pengetahuan menciptakan strategi utama untuk komoditas ekologi, pemasaran dan keuangan dimana terjadi penetrasi yang intensif dan kuat terhadap alam oleh capital (Smith; 2007). Capital menggunakan ahli konservasionist dengan tendensi membentuk (create) keuntungan melalui teknik  genetika dan mengidentifikasi area baru yang memiliki keuntungan tinggi. Kapital masuk pada fase ekologi dimana alam tidak lebih sebagai domain eksploitasi ( Escobar:1996)
Lebih tidak menguntungkan lagi, ternyata dalam mekanisme CDM justru Negara maju Annex I lebih diuntungkan, karena untuk menurunkan emisi GRK menjadi lebih murah dari pada mitigasi di dalam negerinya sendiri. Karenanya Annex I menyebut dua mekanisme CDM sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanism). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi, yang dikenal dengan CER (certified emission reduction).  Sebagai ilustrasi emisi dapat dibeli melalui CDM dengan harga 3 dolarAS-20 dolar AS per ton karbon. Ini jauh lebih hemat karena biaya penurunan emisi di dalam negeri (Negara maju) mencapai 125 dolar AS.   Oleh Negara maju (AS) hal ini disebut sebagai efektif secara ekonomis. Meski sudah untung secara ekonomis ternyata AS juga tetap tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto bersama dengan China, India. Negara maju yang mau meratifikasi protocol Kyoto adalah Jerman dan Swedia.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa posisi tawar (bargaining position) Negara maju sangat kuat dan mendominasi wacana/isu global. Bahkan arogansi ekonomi kapitalis sangat kental mewarnai setiap deal-deal politik yang dibungkus secara halus melalui program, mekanisme/aturan main, serta keputusan politis (kemampuan hegemoni Negara atas negara). Secara jelas bagaimana hegemoni Negara maju terhadap Negara berkembang dapat dilihat pada table berikut:

Isu/diskursus yang diusung
Hegemoni
Perubahan iklim
Merupakan tanggungjawab seluruh Negara padahal negara industry besar menyumbang polutan terbesar, mendapat untung besar tetapi resiko ditanggung semua Negara
Urgensi ilmu pengetahuan dan teknologi 
Negara maju lebih unggul sehingga mampu memanfaatkan celah dan mengisi ruang kosong (deal politik dan ekonomi) yang dimiliki Negara berkembang dengan investasi asing dan menciptakan ketergantungan financial dan teknologi
Urgensi lembaga penanganan perubahan iklim (IPCC, protocol Kyoto, clearing house, dll)
Lembaga sebagai agen ekonomi politik untuk menentukan mekanisme yang lebih menguntungkan Negara maju
Mekanisme pelaksanaan CDM
Aturan dibuat sedemikiann rupa sehingga seakan-akan sama-sama diuntungkan padahal jika dikalkulasi yang lebih untung Negara maju


Mekanisme CDM bisa dilakukan melalui tiga cara (Chandra dkk: 2003):
1.      Bilateral CDM—pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu Negara berkembang. Pada umumnyaCDM ini dilakukan dalam bentuk investasi asing yang besarnya setara dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat dihasilkan oleh kegiatan tersebut. Investasi asing yang dihitung sebagai CDM hanya berdasarkan pada CER yang dapat dihasilkan
2.      Multilateral CDM—sama seperti mekanisme bilateral. Hanya dilakukan oleh beberapa Negara Annex I dan beberapa Negara berkembang, melalui sebuah lembaga “clearing house”
3.      Unilateral CDM—pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi emisi GRK dibiayai dengan investasi domestic. Pada gilirannya investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang dapat dijual kepada Negara Annex I.
Mencermati ketiga mekanisme tersebut akan terlihat bagaimana kapitalisme bekerja dalam lingkup institusi protokol Kyoto dan memainkan peran (politik dan ekonomi) membentuk jaringan investasi modal dan akumulasi keuntungan dengan topeng mitigasi dan perbaikan lingkungan. Terdapat jaringan yang dibentuk (network) sebagai sarana mengalirkan modal dan keuntungan (flows). Dalam sosiologi lingkungan dikenal sebagai teori jaringan dan aliran (networks and folws).
Bila di analisis menggunakan teori ketergantungan, sesungguhnya sangat jelas adanya upaya menciptakan ketergantungan baru di era egaliter dan postmodern. Secara jelas bekerjanya kapitalisme menciptakan ketergantungan Negara berkembang (non Annex) kepada Negara maju (Annex I) dapat dilihat pada :
Tanda panah kecil merupakan ketergantungan Negara berkembang terhadap permintaan (demand) karbon/CER dari negara maju. Sementara panah besar merupakan aliran modal (flows) dari Negara maju ke Negara berkembang dalam bentuk investasi asing guna pencapaian tujuan konvensi perubahan iklim.   Ada hubungan langsung antara Negara maju dan berkembang dalam perdagangan karbon tetapi ada juga peluang bagi actor local ‘bermain’    investasi carbon untuk di jual ke Negara maju. Di sini menunjukkan bagaimana mekanisme dibuat sedemikian rupa untuk menghindari kesan dominasi dan meminimalkan resiko akibat perdagangan karbon/CER.   
Semua penjelasan di atas sebenarnya merupakan penjelasan panjang lebar untuk sebuah kritik terhadap teori modernisasi ekologi. Dinamika proses perbaikan lingkungan di era modern dikenal sebagai modernisasi ekologi.  Ide dasarnya bahwa di akhir millennium dua masyarakat modern  tergerak untuk memperhatikan kepentingan ekologi, menggagas dan mempertimbangkannya dalam desain institusi mereka, tetapi  ternyata yang terjadi justru kepentingan ekonomi politik kapitalis yang memenangkan pertarungan dalam perjuangan perbaikan lingkungan. Hal ini terjadi karena institusi modern; Negara, MNC dan institusi modern lainnya sudah menjadi agen kapitalis sehingga sulit untuk memurnikan tujuan perbaikan lingkungan dari kepentingan kapitalis (globalisasi kapitalis versi teori sistem dunia).
Satu poin penting yang perlu digaris bawahi bahwa Ketidakadilan social sebagai konsekuensi kapitalisme  bermain di arena perbaikan lingkungan dan perubahan iklim ini menumbuhkan hutang dan ketergantungan Negara berkembang kepada Negara maju,  bukan hanya hutang dan ketergantungan  financial tetapi juga hutang dan ketergantungan ekologi. Artinya Negara maju yang selama ini mampu mengontrol pertumbuhan ekonomi dan financial Negara berkembang dengan adanya diskursus perubahan iklim menambah satu hutang yakni hutang ekologi.
D.     Simpulan
Upaya-upaya mengatasi kerusakan ekologi masih terus diiringi dan dikawal oleh kepentingan ekonomi politik  kapitalis dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari upaya perbaikan ekologi. Salah satu isu yang bisa dimainkan adalah perubahan iklim. Dari isu ini kapitalis (Negara industry besar) mendapatkan keuntungan ganda. Di satu sisi emisi karbon yang dihasilkan oleh industry raksasa mereka dinetralisir oleh program CDM (forestry) Negara berkembang tanpa harus banyak mengeluarkan biaya. Di sisi lain, ia bisa mengontrol Negara berkembang dengan membeli carbon (memberi pinjaman hutang untuk mitigasi carbon melalui forestry), sehingga Negara berkembang akan selalu tergantung pada demand dari Negara maju (bekerjanya mekanisme pasar kapitalis).  Pada akhirnya hutang Negara berkembang kepada Negara maju bukan hanya hutang financial tetapi juga hutang ekologi.



Daftar Pustaka

Adger. W.Neil. 2001. Social Capital and Climate Change: Tyndall Centre

Chandra, P. dkk. 2003. Mencari pohon uang: CDM kehutanan di Indonesia: Jakarta,  
Pelangi

M.Gross & H. Heinrich. 2010. Environmental Sociology: European Perspectives and
Interdisciplinary Challenges : Germany, Springer Science.

Redclift R. Michael.  2010.  The International Handbook of Environmental Sociology
: London UK, Edwar Elgar.

Ritzer. G.dan Goodman, 2004. Teori Sosiologi Modern. : Jakarta.Prenada Media

UNDP, 2007. Bunga Rampai kajian tentang Ozon dan Pemanasan Global:


No comments:

Post a Comment