Wednesday, February 1, 2012

marginalisasi pedesaan

MARJINALISASI PEDESAAN
SEBAGAI AKIBAT RELASI KUASA LOKAL DAN SUPRALOKAL
(INTERVENSI NEGARA DAN KEKUATAN KAPITALIS GLOBAL)*

Yunindyawati/ I36310011**

PENDAHULUAN
Tulisan ini hendak melihat perkembangan desa sebagai sebuah transformasi social  dimana desa dipandang sebagai unit wilayah yang dinamis dan selalu berada pada kontinum perubahan dari waktu ke waktu dari masa ke masa. Untuk memahami sebuah proses social di pedesaan dikaitkan dengan keberadaan Negara sebagai intstitusi supralokal maka stand pointnya adalah diterbitkanya UU no 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Hal ini penting karena melalui UU tersebut kekuatan dan kekuasaan Negara mengintervensi kekuasaan local desa dengan berbagai bentuk dan caranya. Desa kemudian diseragamkan sebagai upaya mempermudah mekanisme control Negara atas desa. Pada perkembangan selanjutnya Negara dengan dalih pembangunan menjadikan desa sebagai objek sekaligus basis kekuasaan dengan membentuk pemerintahan desa sebagai agen pemerintah. 
Pada dasarnya memahami  perkembangan dan transformasi social pedesaan bisa dilihat dari perkembangan sebagai sebuah proses dan perkembangan sebagai sebuah hasil interaksi desa dengan kekuatan di luar desa.  Melihat perkembangan desa sebagai sebuah proses maka perspektif teori evolusi dan neo evolusi bisa dijadikan dasar anaisisnya. Namun jika melihat perkembangan desa sebagai sebuah hasil interaksi maka pendekatan Marxist dan neomarxis yang leih relevan untuk menjelaskannya.
Tulisan Jean Pierre dan Oliver de Sardan  dan Horrison memaknai perkembangan desa  sebagai hasil interaksi dengan kekuatan supralokal yakni Negara dan kekuatan kapitalis global. Jika de Sardan lebih menekankan bagaimana perubahan terjadi dari aspek cultural maka harisson  lebih menekankan pada perubahan dari aspek structural.
Jean Pierre dan Oliver de Sardan  dalam bukunya Antrhopology and Development; melihat bahwa untuk memahami perubahan social dan pembangunan perlu untuk mengarusutamakan sosio antropologi dan mengingatkan bahwa perubahan kontemporer sebaiknya menerapkan prinsip-prinsip antropologi. Hal ini perlu karena sosio antropologi adalah sebuah kedalaman secara empiric, multidimensi, diakronik, studi tentang kelompok social dan interaksinya. Kompleksitas perubahan dan pembangunan perlu di  tackle oleh sosio antropologi. 
Eksistensi konfigurasi pembangunan adalah seperangkat institusi, aliran dan actor, untuk siapa pembangunan, sumberdaya, profesi, pasar, Negara atau strategi, merupakan obyek studi sosio-antropologi.  Proses dan fenomena social berkaitan erat dengan pembangunan, politic pembangunan, pelaksanaan pembangunan, infrastruktur, dan proyek pembanguan.  Dalam hal ini sosiologi dan antropologi tidak bisa dipisahkan  dan berkaitan erat, untuk menganalisis proses pembangunan, diperlukan dialog dan kerjasama antara pelaksana dan institusi. Di sastu sisi pelaksana bisa didekati secara cultural secara antropologis dan secara institusional sosiologi bisa menjelaskannya.
Pembangunan pedesaan dipahami sebagai kenyataan perubahan social  dapat menyumbang pembaruan ilmu social. Pembangunan adalah produk  akhir dari multi interaksi dan tidak ada model ekonomi yang bisa memprediksinya tetapi antropologi bisa mendiskripsikan dan mengintrepetasinya.
Pertentangan berbagai logika social yang membayangi proyek pembangunan   merupakan fenomena social yang komplek dimana para ekonom,  ahli pertanian dan pengambil kebijakan senderung mengabaikannya. Konsekuensinya budaya dan nilai lkal penduduk asli pedesaan sebagai obyek pembangunan melakukan sesuatu yang bukan menjadi cara hidup mereka. Mereka kehilangan pandangan bahwa budaya adalah konstruksi subjective untuk keberlanggsungan proses sinkritis dan objek dari symbol perjuangan.
Studi yang berkembang akhir-akhirnya memarjinalkan aspek antropologis masyarakat dalam dunia  pembangunan maupun dunia ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa marjinalisasi status antropologi dari perubahan social dan  pembangunan pada pandangan public pembangunan sama halnya marjinalisasi public dalam penelitian social. Pendekatann komparatif pada dasar antropologi pembangunan memiliki dua karakteristik yaitu pandangan multicultural dari situasi pembangunan dan penggolongan dari konsep dan praktik actor yang berkaitan dalam sistuasi ini.
Dari aspek multiculturalism, situasi pembangunan membawa dua perbedaan kata yang bertentangan satu dengan yang lainnya. Disatu sisi ada basis cosmopolitan, kultur internasional, kultur dari konfigurasi pembangunan. Yang terdiri dari subkultur  (transnasional), dalam clen-clen atau asosiasi kepentingan yang didasarkan pada kepentingan ideology atau profesi yang kurang lebih sama di seluruh dunia (mendunia). Di sisi lain masih terdapat keberadaan budaya lokaldengan subkulturnya.
Dari aspek transversality/penggolongan bisa diamati dari konsekuensi pembangunanyang selalu membawa serta spesialisasi keahlian, spesialisasi organisasi, dan spesialisasi temuan yang terjadi di area kesehatan, lingkungan, produksi pertanian, reformasi administrasi, desentralisasi atau kemajuan wanita.  
Intervensi berbagai kampanye program pembangunan kenyataannya di tingkat dasar  dan tingkat klien institusi pembangunan (apparatus) tidak terlalu memperhatikan perpecahan. Namun praktik umumnya dan gambarannya, meninggalkan perpecahan sektoral. Terdapat perbedaan antara logika pengetahuan dan logika tindakan pembangunan. Para ahli pembangunan memiliki logika yang mempertimbangkan pasar sebagai sebuah arena, berbeda dengan paradigm moral sebagai elemen fundamental dari metaideologinya. Pelaksana pembangunan menggunakan logika status mereka atau bebagai strategi yang harus ditempuh sebagai professional dalam arena pasar, bersama-sama dengan aktivis dunia ketiga, organiasasi voluntir non profit, kerjasama personal atau coordinator local. Dengan mengejar actor pembangunan beserta moralitasnya akan ditemukan disparitas besar dari kepentingan-kepentingan para actor, dan ini menjadi penelitian sosiologi.
Ruang isolasi antara ilmu sosialdan pelaksana pembangunan  ditandai dengan jarangnya berinteraksi. Kontak antara keduanya hanya retorika atau studi yang melibatkan financial saja. Ilmuwan social tidak bisa mendekatkan logika institusinal mereka dan tertutuplah logika akademik dalam pembangunan. Para pelaksana pebangunan juga kurang menggunakan hasil penelitian ilmuwan social dalam berbagai program pembangunan. Akibatnya pemaknaan pembangunan oleh Negara akan berbeda dengan pemaknaan penduduk/masyarakat desa.
Seandainyapun, pelaksana pembangunan melibatkan ilmuwan social, mereka dipekerjakan oleh pelaksana pembangunan yang telah memiliki terminology sendiri. Tidak jarang mereka dijadikan konsultan yang pada akhirnya juga menjadi apparatus pembangunan.
Sementara itu David Harrison dalam bukunya The Sociology of Modernization and development menggambarkan modernisasi dari aspek perkembangan teoritis dalam memandang modernisasi sebagai sebuah proses transformasi social. Menurutnya modernisasi dan tradisional dilihat sebagai sebuah anti tesa. Dia juga mengkontestasikan modernisasi dengan pembangunan.  Di awal tulisanya menjelaskan panjang lebar tentang teori evolusionisme, devolusionisme, structural fungsional dan teori interaksionisme dikombinasikan untuk menjadi teori modernisasi.
Teori modernisasi awal menekankan pada factor internal dari suatu masyarakat tertentu. Umumnya dilihat dari analisis structural fungsional yang menekankan peran nilai, budaya, agama yang menjadi perhatian modernisasi.  Teori awal modernisasi dilihat dari pemikiran Durkheim tentang tahapan  masyarakat rendah dan tahap tinggi, bergerak dari masyarakat sederhana tidak terdeferensiasi menuju masyarakat lebih komplek (mekanik ke organic) masyarakat mekanik merupakan gambaran masyarakat tradisional sementara masyarakat organic sebagai gambaran masyarakat modern. Kemudian teori Talcott Parson; structural fungsional tradisional ditandai oleh peran yang banyak bisa dilaksanakan oleh individu sementara pada masyarakat modern pelaksanaan peran lebih terspesialisasi berdasar peran dan statusnyadalam masyarakat.  variable berpola menjadi dasr dikotomi dalam orientasi peran yaitu: affect VS Neutral, self orientation VS collective orientation, universalisme VS particularism, ascription VS achievement, functional specifity VS functional diffusesness.
F Tonnies melihat masyarakat tradisional dimana pola hubungannya didasarkan pada komunitas (Gemeinschaft), sementara modern lebih didasarkan pada asosiasi (Gesellschaft).  Sementara itu Levy dan Hoselitz, melihat modernitas dari kacamata  struktur ekonomi dab social masyarakatnya. FW Rigss mengemukakan masyarakat tradisional, transisi merupakan masyarakat homogeny (fused society), sementara masyarakat modern terdifferensiasi            (Diffracted).  Sementara itu Daniel Lerner melihat bahwa modernisasi adalah proses global, terjadi kesamaan di berbagai bagian dunia. Smelser dan Rostow menempatkan perspektif yang lebih umum dalam menganalisis pembangunan. Smelser melihat efek pertumbuhan ekonomi terhadap struktur social masyarakat dengan indicator antara lain; pergerakan dari teknologi yang simple ke kompleks, perubahan dari pertanian subsisten ke tanaman cashcrops, pergerakan dari penggunaan kekuatan binatang dan manusia menuju industrialisasi, pertumbuhan penduduk urban.   Pada masyarakat local/kondisi local,  terjadi diferensiasi structural dan untuk mengatur kohesivitas social muncul mekanisme integrative baru.
Rostow  melihat modernisasi melalui pentahapan masyarakat dalam lima kategori: masyarakat tradisional, masyarakat pra kondisi untuk take off, maasyarakat tinggal landas, masyarakat maturity dan masyarakat high consumption.
Modernisasi memerlukan “agen perubah”  seperti  innovator untuk merembeskan ide baru ke semua tempat: innovator, diffuser, agen pemerintah,  menjadi mekanisme bagi masyarakat manusia untuksampai pada modernitas.
Semua teori modernisasi di atas merupakan teori yang beraliran evolusionisme yang memandang transformasi masyarakat sebagai sebuah garis linier. Dalam bukunya Harison juga menggambarkan adanya variasi teori modernisasi bahwa tidak ada teori modernisasi yang tunggal yang dikemukakan oleh Barrington Moore dan Bendix. Menurutnya terdapat tiga rute mayarakat pra industry menuju modernisasi. Untuk bisa sampai pada modernisasi maka perlu pentingnya inovasi politik sebagai kunci modern adalah status kepemimpinan, bahwa moderni sasi tidak unilinier karena ternyata ada tiga rute menuju modernisasi, dan pentingnya ruang politik.    
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa teori evolusionisme klasik yang dikemukakan oleh, Tylor, Morgan, Durkheim, Spencer dan lainya pada dasarnya bertumpu pada tiga hal: pertama: teori modernisai memfokuskan pada unit Negara, menggunakan metode analisis structural fungsional. Kedua, teori modernisasi secara implicit maupun ekslisit adaalah evolusioner sebagaimana dikemukakan oleh para ahli teori evolusi. Ketiga, teori modernisasi cenderung pad aide postulat bahwa masyarakata dualistic.
Teori modernisasi awal mendapat kritikan dari pandangan teori underdevelopment yang di motori A G Frank, Wallerstein dan Amin. Pemikiran mereka terangkum sebagai berikut:
1.      Kemajuan dan keterbelakangan adalah aspek esensial dari proses ekonomi yang sama sehingga yang lebih dullu akan lebih maju
2.      Kemajuan diistilahkan dengan otonomi, keberlanjutan pertumbuhan industrial
3.      Sistem kapitalis dunia menyatakan ketika Negara barat mengembangkan perdaganagan berhubungan dengan Negara non eropa secara gradual terjadi incorporasi kepentingan dunia sehingga terjadi pertukaran sistem internasional
4.      Mekanisme yang di buat oleh sistem kapitalisme dunia mengatur pertukaran yang tidak seimbang sehingga hubungan menjadi tidak simetris yang terrefleksi dari disparitas militer dan ekonomi.
5.      Dunia dipisahkan dalam dua atau tiga kelompok utama yakni Negara Negara maju dengan kekuatan ekonomi besar sebagai centrum, core metropolis sementara Negara kurang berpengaruh sebagai Negara terbelakang, phery-phery atau satelit.
6.      Dunia adalah sebuah sistem ekonomi, secara esensial terjadi surplus nilai dari ekstraksi kaum buruh di Negara phery-phery.
7.      Perusahaan trnsnasional, secara khusus menjadi agen utama neo kolonialisme dan menjadi mekanisme vital dalam transfer surplus dari peri-peri ke semi peri-peri  ke center.
8.      Ruang maneuver Negara terbelakang dibatasi. Mereka akan maju jika mereka membuat jaringan antar mereka dan memutus hubungan dengan kapitalis center.

RUMUSAN PERMASALAHAN
1.      Bagaimana relasi kuasa desa dan kekuatan luar desa? Apakah desa sebagai objek kekuatan luar sehingga tersubordinasi dalam relasi hubungannya
2.      Bagaimana konsekuensi dari interaksi desa dan kekatan luar deasa? Apakah konsekuensi  logis, sistemik  dan sosiologis bisa berupa kehilangan jati diri, posisi subordinat, lemah termarjinalkan, sebagai peri-peri atas kota atau Negara?
3.      Bagaimana konsekuensinya pada masyarakat desa adat yang memiliki nilai-nilai local dan masyarakat desa yang relative  terbuka? Apakah pada mayarakat yang relative terbuka intervensi dan interaksi relative diterima dan mudah mendapatkan pemaknaan yang sama antara masyarakal local dan pemerintah di banding pada masyarakat adat yang memiliki nilai local yang unik dan spesifik. Artinya juga apakah pembangunan pada masyarakat adat relative memporak-porandakan indigenous knowledge dan local wisdom yang ada?

PEMBAHASAN
Pembangunan pedesaan bisa diamati dari berbagai perspektif dan dari sudut pandang actor yang berkepentingan dalam memahami desa. Bagi pemerintah pembangunan pedesaan dimaksudkan untuk bisa menempatkan desa dalam kerangka kepentingan pemerintahan yakni sebagai bagian dari basis kekuatan social politik dan kekuasaan. Karenanya pemerintahan desa sebagaimana UU no 5 tahun 1979 pada dasarnya adalah alat Negara untuk mengontrol desa agar sesuai dengan keinginan dan pemaknaan pembangunan pemerintah.
Pada saat pelaksanaan program pembangunan revolusi hijau misalnya, Negara memaknainya sebagai upaya pengentasan kekurangan dan kemiskinan pangan yang melanda. Harapannya tentunya mengentaskan rakyat dari kelaparan. Namun ternnyata penerapan revolusi hijau membawa dampak social budaya yang cukup mencengangkan. Dimana para perempuan kehilangan otoritas atas tanaman, pengetahuan local tentang pertanian padi di babat dengan teknologi pertanian, diferensiasi dan stratifikasi social di pedesaan makin kentara, dan bahkan banyak petani gurem harus kehilangnan sawah karena mahalnya saprodi pertanian dan lebih menguntungkan bekerj asebagai buruh tani atau bermigrasi kekota. Hal ini menunjukkan bagaimana intervensi Negara telah membuat masyarakat terutama masyarakat miskin terpinggirkan dari proses produksi pertanian; mulai dari pembuatan bibit local, pupuk kandang diganti urea dan lainya.
Di bidang kesehatan intervensi berbagai program telah menggusur pengetahuan local dalam mencegah dan mengobati penyakit. Misalnya ramuan tradisional berbasis lingkungan local menjadi punah dan tidak diminati. Yang terjadi adalah penyeragaman pengobatan dari Negara ke seluruh pelosok nusantara. Lembaga dan organisasi kesehatan seperti posyandu menggantikan peran kelembagaan local dalam mengatasi permaslahan kesehatan. Bidan desa sebagai program pemerintah menggantikan peran dukun bayi dalam menolong persalinan. Padahal pengetahuan paraji telah turun temurun jika tidak dilestarikan maka indegeneuos knowledge juga akan tersingkir.
Memang tidak bisa dipungkiri kemajuan di bidang kesehatan telah menurunkan angka kematian dan angka kesakitan penduduk tetapi akan lebih baik jika program kesehatan itu diintervensikan dengan tanpa menghilangkan kemampuan local dalam pencegahan dan pengobatan penyakit. Artinya kemampuan local tetap dipelihara, sehingga aspek sosio cultural menjadi tidak terputus. Sejatinya eksistensi masyarakat desa berada pada kemampuan local untuk menunjukkan pengetahuan, kemampuan dan kekuasaan local mengurus mengatus dan memiliki tata kelolal dalam kehidupan masyarakat mereka.
Dilihat dari aspek ekonomi, intervensi Negara dan kapitalisme global telah memporak-porandakan perekonomian desa yang awalnya dibangun oleh semangat solidaritas, kebersamaan, keguyuban, tenggang rasa dalam masyarakat. Perekonomian desa sebagai soko guru pembangunan  berlandaskan asas kebersamaan berkeadilan menjadi perekonomian yang bersifat individualistis. Bahkan lebih parah lagi perekonomian desa menjadi bersifat predator terhadap kaum lemah. Sesuai asas ekonomi kapitalis demi keuntungan sebesar-besarnya dengan usaha sekecil-kecilnya antar individu dalam masyarakat saling berlomba menumpuk materi tannnpa mempertimpangkan aspek moralitas. Kelembagaan ekonomi yang dibangun pemerintah untuk desa seperti KUD sebenarnya bukan kelembagaan yang bisa mengakar pada rakyat. KUD menjadi sangat bersifat organisatoris disbanding kelembagaan. Konsekuensinya ia tidak bisa mendarah daging dalam masyarakat. Bahkan KUD telah menggantikan kelembagaan local yang dingun masyarakat secara turun temurun sebagai basis ekonomi masyarakat lokal seperti lumbung padi. Lagi-lagi persoalan pemaknaan yang berbeda antara msyarakat dan pembangunan membawa konsekuensi social cultural yang mengkhawatirkan eksistensi lokal.
Secara structural sebagaimana pendapat Harrison, relasi kuasa local dengan supralokal baik Negara maupun pasar membuat desa berada pada posisi minor daripada mayor, sebagai objek daripada subjek, menjadi yang tergantung dari pada yang disandari, menjadi peri-peri/satelit dari pada sebagai pusat atau inti. Semua ini terjadi karenaketidakseimbangan relasi kuasa local dan supra local.
Dalam konteks pembangunan pedesaaan dikeluarkan UU no 5 tahun 1979 membawa konsekuensi struktual yang luar biasa bagi desa. Struktur social pedesaan yang dibangun dalam kurun waktu lama dan mengalami perekambangan secara evolusioner dari waktu ke waktu dari masa kemasa, digantikan oleh struktur yang diintervensikan dari atas yakni oleh Negara. Mekanisme structural yang dibangun desa dengan segala kekhasannya telah mampu mengatur keberlangsungan hidupmasyarakat desa digantikan tatanan baru yang berbeda sama sekali dan bahkan tidak dimengerti  oleh warga desanya. Hal ini terutama terjadi masyarakat adat dengan struktur masyarakat yang masih asli dan memiliki pranata social yang fungsional dalam masyarakatnya, seperti masyarakat Badui di banten, Suku Anak Dalam di Jambi, masyarakat sakai di Riau, suku Dayak di Kalimantan, Suku Dani di Papua dan lainnya. Ketika ada intervensi pembangunan maka perbenturan nilai budaya dan struktur kelembagaan adat  lebih hebat disbanding desa terbuka yang lebih luwes melakukan adaptasi terhadap pembangunan. Karenanya masyarakat adat sekan menjadi korban yang paling berdarah-darah dalam proses pembangunan Negara.
Konsekuensi logis secara structural dari relasi local dan supralokal dapat diamati dari aspek “kemerdekaan” desa/local. Sebelum adanya relasi dan intervensi Negara dan pasar. Desa sangat merdeka memiliki struktur social,ekonomi, politik yang khas yang disepakati bersama. Setelah berinteraksi ternyata desa kehilangan otoritas dan kemerdekaannya dan senantiasa tergantung pada Negara. Hal ini bisa ditunjukkan dengan contoh untuk mengatasi persoalan ekonomi desa berupa kemiskinan, masyarakat mengharapkan Negara memberi bantuan secara ekonomi padahal dulu msyarakat miskin menjadi tanggungjawab masyarakat desa dengan kedermawanan anggota desayang lebih mampu. Sekarang nilai kedermawanan telah mengendur digantikan nialiindividualistis.
Negara dan pasar juga sengaja menciptakan agar masyarakat desa tetap dan terus bergantung melalui mekanisme structural dan cultural. Secara structural diciptakan pemerintahan desa sebagai apparatus pemerintahan untuk mempermudah mengontrol desa agar tetap bergantung. Secara cultural sengaja atau tidak sengaja nilai-nilai budaya local digerus terus menerus sehingga desa kehilangan jati dirinya. Sistem kapitalis juga memasuki desa dengan melalui mekamisme structural maupun cultural. Secara structural kapitalis menjadikan pemerintah desa sebagai agen dan korporasi untuk mendirikan pasar kapitalis. Secara cultural masyarakat dihegemoni dengan pandangan materialistic yang mendewakan kelimpahan dan kemewahan sebagai tujuan hidup yang bahagia. 
 Konsekuensi logis, sistemik dan sosiologis relasi kuasa local dan supralokal dapat dilihat pada table berikut:

Status desa
Logis
Sistemik
Sosiologis
Desa terbuka
Intervensi program pembangunan (Revolusi, hijau, kesehatan dan ekonomi dll): akan mempengaruhi desa dimana desa terbuka akan relative melakukkan adaptasi secara berangsur angsur (evolusioner) terhadap program tersebut. Hal ini relative mudah karena desa terbuka relative telah mengenal modernisasi pembangunan. Sehingga perubahan social yang dialami lebih bersifat evolusi dari pada revolusi.
Kelembagaan local desa melakukan adaptasi dengan kelembagaan Negara dan pasar. Melalui mekanisme seperti ini Negara dan pasar relative mudah masuk kelembagaan desa. Sebenarnya secara tidak sadar kelembagaan Negara dan pasar telah menghegemoni local sehingga lambat laun tapi pasti kelembagaan local akan hilang
Pola hubungan kemasyarakatan mulai bergeser secara evolusioner dari pola kebersamaan menuju individualistic. Dari kekerabatan menjadi asosiasi kepentingan.
Masyarakat Adat
Bagi mayarakat adat dengan nilai, pranata yang masih kuat akan relative tertutup terhadap program pembangunan sehingga ketika terjadi intervensi Negara dan pasar akan terjadi perbenturan hebat pada masyarakat local. Karenanya perubahan social yang terjadi akan bersifat revolusioner, berdarah-darah. Terdapat loncatan yang terlalu besaar untuk bisa memaknai program pembangunan baik secara cultural maupun kultural
Kelembagaan msyarakat adat mengalami Shock cultur ketika dihadapkan pada kelembagaan baru. Akibatnya masyarakat menjadi teralienasi thd berbagi program pembangunan yang berdampak pada ketidakefektifan program bagi masyarakat adat. Alih-alih kesejahteraan yang di dapat justru kemunduran lokal
 Hubungan social pada masyarakat adat terbagi orientasinya antara memilih pranata lama yangselama ini menjadi guidenya dengan pranata baru yang memaksa terjadinya perubahan hubungan social dan kekerabatan. Misal administrasi pemerintahan mempengaruhi interaksi social masyarakat adat.


Dari table diatas secara sederhana bisa diambil kesimpulan sementra bahwa program pembangunan pedesaan telah memicu perubahan/transformasi social masyarakat yang berbeda antara masyarakat adat dan masyarakat desaterbuka. Perubahan social pada masyarakat desa terbuka bersifat evolusioner, melalui mekanisme adaptasi seiring dimensi waktu. Sementara transformasi social masyarakat adat bisa terjadi secara revolusioner karena pengaruh program pembangunan. Masyarakat dipaksa secara cultural maupun structural memaknai pembanguan seperti pemerintah memahami pembangunan. Konsekuensinya terjadi loncatan yang besar anata apa yang diketahui dengan apa yang harus dilakukan yang menyebabkan mereka teralienasi.
Contoh kasus desa adat yang relevan dengan analisis ini adalah pada masyarakat suku Sakai di Riau. Orang Sakai di kabupaten Bengkalis Riau khususnya di kecamatan Mandau dikategorikan sebagai suku terasing baik secara structural maupun secara fungsional dalam kaitannya dengan sistem nasional Indonesia, sebagaimana didefinisikan departemen social RI waktu itu. Definisi terasing menjadi tidak relevan yang lebih relevan adalah masyarakat asli karena mereka memiliki sistem social dan budaya yang relative mantap dan dengan sistem tersebut mereka mampu hidup secara subsisten.
Posisi orang Sakai yang rendah dalam struktur masyarakat Indonesia di Riau telah menjadi kentara melalui kemunculan dan kemantapan ketergantungan mereka terhadap pemerintah melalui pembinaan oleh departemen terkait. Ketergantungan terhadap pemerintah makin jelas melalui berbagai jatah makanan dan berbagai kebutuhan lainya, melalui interaksi dengan petugas lapangan dengan masyarakat setempat yang dimukimkan dalam program PKMT (pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing) yang terwujud melalui berbagai bentuk pembinaan.
Orang Sakai kemudian memanfaatkan keuntungan ini untuk tidak usah bersusah payah membuat lading dan berkebun ubi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini semakin menguatkan ketergantungan mereka terhadap pemerintah. Kemerdekaan memproduksi ubi digantikan program bantuan/jatah makanan telah membunuh kreativitas mereka. Dampaknya adalah mereka akan tidak atau kurang mampu melakukan antisipasi terhadap berbagai perubahan social dan budaya dalam lingkungan mereka sendiri.
Secara individual orang Sakai yang mampu mengantisipasi perubahaan-perubahan adalah mereka yang mengacu bukan pada materi yang ada dalam PKMT tetapi pada mekanisme pasar dan pada materi informasi yang mereka peroleh dari TV, Radio dan sumber media massa lainnya. Hal ini menjadi ilustrasi bagaimana program PKMT yang diintervensikan pemerintah membuat masyarakat Sakai yang awalnya independent menjadi tergantung, menjadi tidak kreatif, dan memunculkan kelompok-kelompok masyarakat yang terdefferensiasi dan terstratifikasi.  

PENUTUP
Perkembangan masyarakat desa sebagai proses transformasi  social masyarakat desa dapat difahami sebagai proses evolusi jika dilihat dari dimensi waktu. Dari masyarakat tradisional menuju modern, masyarakat homogeny ke heterogen dari fused ke refracted, dari kurang terspesialisasi ke terspesialisasi. Namun memahami transformasi pedesaan tidak bisa lepas dari proses interaksi desa dengan kekuatan lain diluar desa. Oleh karena itu pandangan neo Marxist bisa menjelaskan didukung oleh pandangan antropologi pembangunan dimana dari proses interaksi itu menghasilkan subordinasi desa atas Negara dari sisi struktural maupun cultural. Hal ini terjadi karena pembagunan sebagai agen perubahan social pedesaan sering kali juga menjadi agen kapitalisme global yang membawa nilai neo liberalism. Karenanya memahami perubahan social pedesaan akan ditemukan perbenturan kelembagaan termasuk nilai-nilainya antara desa melawan  Negara (pembangunan) dan kapitalis global serta perbenturan kepentingan local desa dan kepentingan pembangunan negara dan kapitalis yang cenderung menjadikan desa sebagai ranah untuk eksploitasi sumberdaya  baik alam maupun manusia dan menjadikan mereka sekaligus sebagai target pasar.    Perbenturan kepentingan local dan supralokal ini akan dialami lebih hebat oleh masyarakat adat daripada masyarakat desa terbuka/termodernisasi. Pada akhirnya relasi kuasa local dan supralokal akan membawa desa dan adat menjadi termarjinalisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Hoogvelt, Ankie, 1995. Sosiologi masyarakat sedang berkembang, Jakarta: Rajawali pers.
Harrison, David, 1988. The Sociology of Modernization and Development. London and New York: Routledge
Pierre, J and Sardan, O. 2005. Anthropolgy and Development, London and New York: Zed Books
Suparlan, Parsudi, 1995. Orang Sakai di Riau:Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor


No comments:

Post a Comment