Thursday, February 2, 2012

status lansia di pedesaan

MODERNISASI  DAN KONFLIK SOCIAL WANITA LANSIA DI PEDESAAN KAWASAN INDUSTRI*

Yunindyawati, I363100011**
Abstrak

Tulisan ini melihat bagaimana hubungan antara modernisasi dan status lansia terutama di Negara berkembang. Berbagai konsekeuensi akibat modernisasi ternyata telah menjadikan status lansia menjadi menurun. Dilihat dari aspek kesehatan, ekonomi, urbanisasi dan pendidikan, keberhasilan modernisasi di satu sisi membawa dampak positif. Namun di sisi lain membawa konsekuensi negative bagi lansia. Untuk  kasus di pedesaan kawasan industry status lansia masih cukup diperhatikan karena adanya nilai-nilai yang difahami dan industry yang berbasis keluarga (family based).

Kata kunci; lansia, modernisasi, satus social, konflik sosial

PENDAHULUAN
Diskursus mengenai kependudukan seringkali memperdebatkan tiga persoalan utama, yaitu mengenani kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan (migrasi). Pada perkembangan selanjutnya, persoalan kependudukan tidak hanya terhenti pada ketiga variable tersebut, akan tetapi akan meluas jangkauannya dan menyentuh banyak isu menarik. Isu-isu tersebut antara lain adalah ketenagakerjaan, human resources (SDM), keluarga sejahtera, kemiskinan, pendidikan dan manusia lanjut usia (lansia)—penduduk berusia 60 tahun dan lebih.
Para ahli demografi seringkali berpendapat bahwa semua persoalan kependudukan tersebut   di atas terkait dengan transisi demografi, yaitu proses perubahan penduduk. Menurut teori transisi demografi, suatu Negara akan melewati beberapa tahapan, yang diantaranya ditunjukkan dengan suatu perubahan dari tingginya tingkat kelahiran dan tingkat kematian menuju rendahnya tingkat kelahiran dan kematian, serta dari proporsi penduduk tua yang rendah menuju proporsi penduduk tua yang tinggi (Siegel dalam Hugo: 1982).
Tampaknya hampir semua Negara akan mengalami ledakan jumlah lansia (proses menuju proporsi penduduk tua) sebagai konsekuensi transisi demografi. Kenyataan ini terjadi utamanya karena angka kelahiran mengalami penurunan secara drastis, sementara angka harapan hidup semakin meningkat. Karena itu negara-negara yang mengalami penurunan fertilitas secara cepat akan diikuti pula oleh peningkatan proporsi  lansia yang cepat pula, sebagai mana terjadi di Negara-negara berkembang. Menengok data dari WHO (dalam LD-FE UI, 1990), jumlah lansia di seluruh dunia diperkirakan tak kurang dari 540 juta pada tahun 1996, dan 330 juta diantaranya hidup di Negara sedang berkembang. Menjelang tahun 2020, jumlah lansia diperkirakan lebih dari satu milyar orang; hampir dua pertiga (710) juta lansia di antaranya berada di Negara berkembang.
Di Indonesia, yang mengalami penurunan angka fertilitas selama beberapa decade terakhir, tidak terlepas dari isu lansia. Pada tahun 1995, jumlah lansia telah mencapai 13,8 juta atau 6,9 persen dari total penduduk. Pada tahun 2020 nanti akan terjadi ledakan penduduk di Indonesia. Jumlah lansia mencapai 16,2 juta atau 7,4 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 216,6 juta  jiwa. Pada tahun 2010 lansia menjadi 17,3 juta (7,9 persen), dan di tahun 2020 sudah mencapai 29 juta (11,4 persen) (Republika, 1997).
Sementara itu, sekjen menteri social, Chazali Husni  menyebutkan bahwa diperkirakan jumlah lansia pada tahun 2010 telah mencapai 23,9 juta jiwa. Angka ini akan terus meningkat, dan tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 28,8 juta orang (Herald Tribun, diakses 5 januari 2010)
Ledakan lansia menjadi isu menarik, karena jumlah lansia yang begitu besar tentunya akan menimbulkan berbagai masalah baru, baik dalam bidang ekonomi, social, kesehatan, psikologi maupun budaya. Misalnya permasalahan kesehatan lansia biasanya kompleks, baik secra fisik maupun psikis. Penyakit yang menimpa lansia secara perlahan-lahan terus “menggerogoti” tubuh lansia. Sementara itu kemampuan untuk sembuh semakin berkurang dan cenderung menahun.
Mengingat berbagai persoalan yang akan dihadapi lansia di masa mendatang, khususnya di Negara berkembang, termasuk Indonesia, telaah mendalam kiranya mulai sekarang diperlukan, untuk mengantisipasi kebutuhan pelayanan di bidang social, kesehatan, dan kesejahteraan. Setidaknya persoalan lansia ini menjadi isu yang perlu perhatian.
Persoalannya, fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan, jumlah wanita lansia lebih besar dari pada pria lansia, seperti yang terjadi di Pakistan, India dan Bangladesh. Proporsi wanita yang lebih besar ini disebabkan oleh dua factor; angka kematian bayi yang relatif kecil dan biasanya terjadi pada usia muda. Sementara itu, kematian pria terjadi pada usia tua dan terutama diakibatkan oleh tingginya angka kematian akibat peperangan  (Siegel dalam Hugo: 1982). Selain itu, harapan hidup wanita lebih tinggi dari pada pria disebabkan kemampuan daya tahan tubuh wanita lebih kuat dari pada pria. Implikasi yang terjadi karena ketidakseimbagan  seks ini, pada umumnya lansia yang masih hidup merupakan wanita, dalam keadaan janda, sebagai pemimpin rumah tangga atau sendirian dalam rumah tangga, mengalami penurunan pendapatan, terjadi peningkatan kemiskinan di kalangan lansia wanita, resiko kesehatan dan rawan sakit, serta adat kebiasaan yang dianut lansia (Siegel dalam Hugo, 1982)
 Hugo menyatakan bahwa beberapa masalah social seputar lansia pada masyarakat pedesaan adalah kesendirian/kesepian, kemiskinan dan deprivasi para janda serta wanita yang tidak menikah dan hidup sendiri dan seringkali bertumpu pada kedermawanan masyarakat untuk dapat bertahan. Kenyataan ini memerlukan suatu penanganan khusus terhadap segmen penduduk tertentu dalam hal ini lansia di pedesaan yang mana status dan keberadaannya menjadi lebih rendah dari pada kelompok lain.
Belum lagi nilai-nilai tradisional yang memihak eksistensi mereka, yang diharapkan tetap ada ternyata harus berhadapan dengan perubahan nilai-nilai social yang berubah seiring waktu dan perjalanan umur lansia. Seringkali nilai tersebut bersebrangan dengan nilai-nilai yang dikenal dan diharapkan lansia.
Keadaan ini diperparah oleh proses modernisasi yang seringkali menimbulkan perubahan struktur keluarga dari extended family ke nucleous family. Dengan bentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah, kesempatan lansia unttuk tinggal bersama anak-anak mereka menjadi mengecil, sehingga dukungan keluarga terhadap lansia menjadi terkurangi. Selain itu, banyaknya wanita yang masuk pasar kerja serta tingginya daya tarik kota (Pull factors) yang mendorong penduduk muda desa mengadu nasib ke kota (migrasi ke kota) di duga akan mengurangi  pula dukungan keluarga terhadap lansia.
Selain itu, di tengah jaman modern, bagi penduduk usia produktif terutama di perkotaan, waktu akan sangat berharga untuk mengembangkan diri serta karirnya dalam pekerjaan. Akibatnya seringkali lansia kurang diperhatikan.  Yang  terpenting  adalah bagaimana dalam kondisi persaingan yang ketat mereka mampu mempertahankan hidupnya. Kenyataan ini senada dengan yang dikemukakan oleh Frons, Jeffier dan Nelson (dalam Jones : 1990) bahwa:
Asian sociologists believe that the ever increasing flight from the countryside to the cities in search of better, easier job strains family ties. As the younger generation becomes more affluent, more materialistic—and more preoccupied with a youth oriented western culture—the traditional regard for elderly is vanishing.

Uraian diatas menggambarkan berbagai hal yang saling berkaitan dengan persoalan lansia; yang bisa dicatat adalah bahwa kemajuan di berbagai bidang mengakibatkan di satu sisi, masa tua menjadi lebih lama karena kemajuan teknologi kesehatan, dan di sisi lain terjadi perubahan struktur keluarga, kesempatan wanita bekerja lebih tinggi  dan banyaknya migrasi ke kota. Selain  itu orientasi kerja yang tinggi menyebabkan berkurangnya perhatian terhadap lansia yang selanjutnya mengurangi kesejahteraan lansia. Semua ini merupakan dampak proses modernisasi. Sejalan dengan kenyataan ini Giele (dalam Jones 1990:5) menyatakan bahwa;
Ironically, modernization bring not only the greater longevity of old people but also changes in family size and compotition that make family care more problematic.

PERMASALAHAN
Menurunnya tingkat kelahiran, di satu sisi dan meningkatnya angka harapan hidup di sisi lain sebagaimana dialami Negara berkembang, akan menyebabkan struktur penduduk mengalami proses penuaan.  Persoalannya usia tua membawa beberapa konsekuensi terutama berkaitan dengan kondisi fisik dan psikologis. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang masih hidup bertempat tinggal di wilayah pedesaan serta berjenis kelamin wanita.  Masalah yang dihadapi lansia pedesaan meliputi; kesendirian/kesepian, kemiskinan dan deprivasi para janda, seringkali bertumpu pada kedermawanan masyarakat. Cowgill  (1974) (dalam Quadaqno: 1980)  yang telah melakukan studi mengenai lansia dalam kaitannya dengan modernisasi, membenarkan argumentasi bahwa ternyata proses modernisasi mempunyai konsekuensi negative terhadap lansia dan bahkan semakin berkembangnya modernisasi status lansia menjadi semakin menurun. Oleh karena itu tulisan ini ingin melihat bagaimana karakteristik dan konflik social wanita lansia di pedesaan kawasan industri.  

KERANGKA KONSEPTUAL
Pembangunan, yang  mempunyai konotasi suatu upaya peningkatan kesejahteraan  dan/atau perbaikan kehidupan berbangsa, merupakan konsep penting di hampir semua Negara terbelakang (under developed countries) dan Negara berkembang (developing countries). Dengan perkataan ini konsep pembangunan tidak lain merupakan suatu bentuk perubahan yang berjalan secara terencana dari satu bentuk ke bentuk lain.
Salah satu bentuk proses pembangunan itu dapat berupa modernisasi. Cowgill  (dalam Quadgno1980) menyatakan:
Modernization is the transformation of a total society from a reatively rural way of life based on animate power, limited technology, relatively undifferentiated institutions, parochial and traditional outlook and values, toward apredominantly urban way of life based on   inanimate sources of power, highly developed scientific technology, highly differentiated institution machted by segmented individual roles and a cosmopolitan outlook which emphasizes efficiency and progress

Selanjutnya, Cowgill mengungkapkan bahwa ada hubungan antara modernisasi dan demografi lansia. Hubungan ini dapat ditelusuri melalui beberapa aspek penting modernisasi, yang meliputi teknollogi kesehatan, teknologi ekonomi, urbanisasi dan pendidikan.
 Penerapan teknologi kesehatan (health technology) pada awalnya dimaksudkan untuk mengurangi jumlah kematian, kelahiran bayi dan anak di bawah lima tahu (balita). Selain itu, teknologi keluarga berencana dan keshatan (KB-KES) diterapkan untuk mengurangi jumlah penduduk dan meningkatkan kesehatan manusia. Tak pelak, dampak intervensi teknologi ini adalah berupa peningkatan angka harapan hidup, yang utamanya sebagai akibat dari penurunan angka kematian dan perbaikan tingkat kesehatan masyarakat.peningkatan angka harapan hidup dapatberkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk lansia.
Selanjutnya, besarnya jumlah lansia akan menimbulkan kompetisi angkatan kerja antar generasi, yaitu antara generasi tua yang masih hidup dan generasi muda yang mencari pekerjaan. Kompetisi ini berakibat  bahwa lansia terpaksa harus dikorbankan dengan cara di pension karena semata-mata alasan umur. Padahal menjadi pensiun dapat berarti pengurangan penghargaan, termasuk penghasilan uangdan secara psikologis berkurangnya kepuasan akan statusnya. Selain itu lansia akan merasa kehilangan fungsi dan berstatus rendah dalam masyarakat.
Kemudian perkembangan teknologi ekonomi modern dapat pula menyebabkan penurunan status lansia. Kemajuan bidang ini mentransformasikan beberapa pekerjaan baru, yang seringkali tidak dapat dikuasai oleh para lansia. Dampak lain yang ditimbulkan oleh penerapan teknologi ekonomi ini adalah pekerjaan-pekerjaan baru tersebut seringkali menyita pikiran, tenaga dan waktu, sehingga perhatian para pekerja (generasi muda) lebih terfokus pada pekerjaannya. Akibatnya, perhatian yang seharusnya diberikan pada orang tuanya (lansia) menjadi berkurang. Keadaan ini juga  dapat menyebabkan status lansia menjadi lebih rendah.
Salah satu aspek urbanisasi adalah perpindahan penduduk desa ke kota yang dilakukan oleh penduduk muda (young generation), akan memisahkan mereka dengan para lansia. Dalam perkembangannya, banyak migrant menetap di dekat tempat kerjanya, sampai mempunyai istri dan anak. Kondisi ini sering disebut dengan residential segregation. Jarangnya kesempatan antara lansia dan anaknya untuk bertemu dan berubahnya status anak akan menimbulkan jarak social  (social distance) tersendiri.
Ditambah lagi, kebutuhan akan pentingnya pendidikan mendorong generasi muda antusias dalam menuntut ilmu. Kondisi ini mengakibatkan anak-anak mempunyai pendidikan lebih tinggi dari orang tuanya. Di sinilah terjadi status yang terbalik, sehingga menimbulkan segregasi intelektual dan moral antara anak dan orang tua, yang pada akhirnya dapat menyebabkan status lansia menjadi lebih rendah.
Perspektif teori ini menggambarkan bahwa modernisasi mempunyai konsekuensi negative terhadap lansia, dan menyatakan bahwa semakin berkembangnya modernisasi maka status lansia menjadi menurun.
Dengan mengacu pada konsep dan/atau model tersebut, status lansia di wilayah-wilayah yang belum banyak tersentuh oleh modernisasi maka status social lansianya masih cukup  tinggi. Akan tetapi, Goldstein dan Beall (1982) memperdebatkan bahwa pandangan tersebut terlalu sederhana, karena modernisasi dapat pula mempengaruhi status lansia secara tidak langsung, yaitu melalui perubahan yang terjadi dalam rumah tangga (sistem keluarga).
Pada awalnya, kehidupan lansia di berbagai daerah di Indonesia, tampaknya memang ditopang oleh rasa hormat dan kasih saying dari anak-anaknya. Ada semacam proteksi cultural bagi orang tua (lansia), sehingga kehidupannya ditopang anaknya.  Budaya yang ada cukup kuat untuk memaksa anak merasa malu jika tidak mampu merawat orang tuanya. Di tambah lagi nilai ajaran agama yang cukup kuat mendorong anak untuk berbuat baik pada kedua orang tuanya. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan, surga di bawah telapak kaki ibu dan ajaran untuk berbuat baik kepada kedua orang tua (lihat QS. Al Israa’ ayat 23-24). Ajaran tersebut merupakan salah satu contoh pilar yang menopang dan/atau memperkuat dukungan keluarga terhadap kehidupan lansia.
Namun seiring perubahan social ekonomi dan demografi yang terjadi, tentunya nilai ajaran tersebut ikut pula mengalami pergeseran. Seringkali laju pembangunan kurang cukup mampu memberi peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh David dan Combs (sebagaimana dikutip Ogawa dalam Retherford, 1993), perubahan struktur ekonomi dari peasant agrarian –economy ke urban-industrial economy turut mengubah pola dukungan anak terhadap orang tuanya.
Dalam peasant agrarian economy, produksi cenderung bersifat family based dan unspecialized. Karena itu, konflik antar generasi juga dapat diminimalkan. Dalam kondisi seperti itu anak menaruh hormat yang begitu besar kepada orangtuanya. Sementara itu, dalam masyarakat urban-industrial economy, produksi tidak lagi bersifat family based. Pekerjaan pun cenderung bersifat spesialis. Pekerjaan diperoleh melalui pasar kerja yang memperlakukan seseorang sebagai individu bukan sebagai anggota keluarga tertentu. Antara orang tua dan anaknya seringkali dalam tempat yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu, hubungan antara orang tua dan anaknya menjadi berkurang dan jarang, yang pada gilirannya turut mempengaruhi rasa hormat dan penghargaan anak terhadap orang tuanya.
Di sisi lain Heissel (dalam LD FE UI, 1994) memberi tiga model alternative tentang hubungan pembangunan dan tingkat kesejahteraan lansia. Model pertama memperlihatkan, pada awal pembangunan ekonomi, tingkat kehidupan lansia relative baik tetapi kemudian mengalami penurunan terus menerus sejalan dengan berlangsungnya pembangunan. Model kedua memperlihatkan, pelaksanaan pebangunan ekonomi pada mulanya diikuti dengan memburuknya kehidupan lansia kemudian membaik sejalan dengan berlangsungnya pembangunan ekonomi. Model ketiga memperlihatkan, pembangunan ekonomi yang berlangsung selalu membawa perbaikan kehidupan lansia meskipun berlangsung sedikit demi sedikit. Berikut gambar modelnya;



Berkaitan dengan ketiga model alternative tersebut, Heissel cenderung percaya bahwa hubungan antara status atau keberadaan penduduk lansia dan modernisasi mungkin lebih berbentuk huruf U (model kedua), dibanding dengan model linier (model pertama dan model ketiga). Pilihan terhadap model tersebut mengisyaratkan perlunya dibangun institutional support sejalan dengan semakin berjalannya nilai-nilai yang menopang dukungan keluarga. Dalam hal ini barangkali yang paling penting adalah bahwa orang lanjut usia, tidak lagi ikut ambil bagian dalam keluarga/masyarakat; seperti mempunyai keluarga tersendiri, yang berstatus suami atau istri, melahirkan dan membesarkan anak-anak atau menjadi keluarga inti.
 Beberapa sebab terpisahnya lansia dari sistem keluarga inti di masyarakat meliputi dua hal: pertama, anak-anaknya berurbanisasi/migrasi ke kota kemudian bertempat tinggal di sana, mempunyai tempat tinggal yang terbatas, hampir tidak cukup lagi bagi orang tuadan anak-anaknya. Kehadiran kakek atau nenek menjadi beban berat untuk keluarga itu. Satu lagi yang menjadi pertimbangan adalah beban financial yang ditimbulkan orang tua  (dengan keperluan perawatan dan pengobatan khusus) pada keluarga itu. Apalagi jika keluarga tersebut memiliki mobilitas tinggi. Kedua, terpisahnya dari kehidupan keluarga inti akan banyak menimbulkan ketegangan/permasalahan. Timbul masalah dalam mendapatkan perumahan yang memadai, perumahan yang sesuai dengan penghasilan lansia yang terbatas dan masalah kebutuhan fisik lansia termasuk untuk biaya kesehatan. Satu ketegangan lagi timbul dari tiadanya kasih sayang dan respon emosional lainnya dalam kehidupan para lansia  yang terpisah dari anak-anaknya, bahkan kepuasan tradisional untuk membesarkan cucu-cucunya sering tidak ada lagi. Karena wanita cenderung lama bertahan hidup dari pada pria maka masalah emosional wanita lansia menjadi pukulan berat bagi mereka.
Selama ini ada beberapa implikasi penting sebagai akibat trend kemajuan pertumbuhan jumlah lansia. Diketahui status lansia didevaluasi dengan kesendirian, yang membawa konsekuensi negative bagi penghargaan diri (hilangnya jabatan, berkurangnya status, hilangnya kasih sayang, putusnya hubungan keluarga) dan mengarah pada depresi, penarikan diri dari masyarakat, bersahabat dan kecewa akan peran akhir yang diharapkan (Hugo; 1982).
Selain itu, pertentangan kelompok mungkin akan terjadi generasi muda dan generasi tua. Pertentangan-pertentangan dinilai kerapkali terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya lebih mudah untuk menerima unsure-unsur budaya asing (budaya barat dan atau baru) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi.  Keadaan tersebut akan menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki, kedudukan wanita yang sederajat dengan laki-laki dalam masyarakat dan lain-lain (Soekanto: 1982).
Di samping itu, lansia memiliki tingkatan secara gradual dalam hal kedekatan dan kebersesuaian dengan nilai yang berlaku. Semakin tua (kakek atau nenek) berarti memiliki tingkat kedekatan dan kebersesuaian yang semakin jauh dengan nilai-nilai yang berlaku dengan jaman cucu. Perbedaan antara generasi tua dan generasi muda ini akan membawa akibat perbedaan kepentingan dan keinginan antara keduanya.
Kenyataan kenyataan tersebut di atas seringkali merupakan konflik tersendiri bagi lansia. Karena pada dasarnya konflik senantiasa ada, menyertai segala bentuk kehidupan. Seperti yang diungkapkan Dahrendorf, dimana ada kehidupan di situ ada pertentangan.
Sementara itu, Simmel memandang dalam masyarakat ini ada dua bentuk hubungan social. Yang pertama bersifat assosiatif dan yang kedua bersifat dissosiatif. Assosiatif merupakan suatu proses dalam hubungan social dimana masing-masing mendekatkan diri satu sama lain. Simmel juga mengemukakan suatu pandangan yang bersifat organismic dalam melihat dunia social. Dalam pemikiran organismic ini, Simmel mengajukan asumsi adanya suatu hostle impuls, yaitu dorongan kebencian atau kebutuhan untuk untuk membenci  hanya dengan instrinsik di antara masing-masing kesatuan di antara dunia organismic tersebut. Melalui instrinsik sedemikian ini,juga akan berkembang rasa kasih saying  dan cinta kasih (afeksi) di dalam hubungan social. Karena itu, ia melihat konflik sebagai refleksi yang bukan hanya sekedar konflik kepentingan tetapi juga timbul dari instrinsik kebencian. Instrinsik sedemikian dapat diperluas melalui konflik kepentingan atau juga dapat diharmoniskan melalui instink cinta. 
Jadi sebetulnya, ada sumber konflik yng tidak terbatas yang berada dalam proses perkembangan biologis umat manusia. Konflik inheren (ada di dalam) semua hubungan social.  Begitu juga dengan dunia kehidupan lansia. Mau tidak mau sejalan dengan perjalanan hidup lansia akan senantiasa menghadapi konflik social instrinsik. Hal ini menjadi semakin rumit karena selain konflik yang bersumber instrinsik juga dihadapkan pada konflik yang berhubungan dengan dunia social dan factor-faktor di luar dirinya.
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini penulis lebih memfokuskan kaitan antara modernisasi dan kehidupan wanita lansia di pedesaan di kawasan industry. Sebagai contoh kasus kehidupan wanita lansia di Desa Kedensari Kecamatan  Tanggul Angin Kabupaten Sidoharjo Propinsi Jawa Timur. Daerah ini termasuk desa dengan kawasan industry karena banyaknya industry sepatu dan tas kulit. Selain itu dekat dengan Waru dimana merupakan kawasan industry di Surabaya. Oleh karena itu cukup relevan untuk menggambarkan hubungan antara modernisasi dengan konflik social wanita lansia pedesaan.
Karakteristik wanita lansia di desa kawasan industry ini, bertalian erat dengan kondisi fisik dan kesehatan yang semakin menurun. Gejala ini ditandai antara lain; wanita lansia mengalami hipertensi, pegal linu,  penglihatan mata kabur, indera pendengaran kurang, tidak mampu membawa beban yang terlalu berat, pusing-pusing dan batu-batuk.
Aktivitas sehari-hari yang dilakukan wanita lansia di pedesaan antara lain; memelihara ayam, bebek/itik, serta ada juga yang berdagang menjual jamu gendong. Dari aktivitas tersebut wanita lansia mendapatkan penghasilan uang. Uang itu mereka gunakan untuk membeli obat-obatan untuk mengurangi kelemahan fisik akibat penurunan karena usia tua. Untuk makan sehari-hari wanita lansia di pedesaan mendapat dukungan dari keluarga yaitu dari anak-anak, menantu atau pun dari cucu dan saudara kerabat mereka.
Dukungan tersebut berupa memberi uang untuk jajan, makan sehari-hari ikut anak, membelikan pakaian dan member uang pada saat hari raya lebaran/idul fitri. Peran social yang dimainkan wanita lansia adalah memberi control terhadap diterimanya dan diinternalisasikannya nilai-nilai social. Dalam hal ini yang paling terlihat adalah dalam bidang pendidikan baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Konflik social yang dialami wanita lansia secara garis besar ada dua macam. Pertama yang menimpa diri wanita lansia secara langsung. Yang kedua yang  berkaitan dengan hubungan wanita lansia dengan individu di luar dirinya seperti dengan anak, menantu dan cucu. Konflik  yang menimpa secara langsung berupa kondisi fisik dan kesehatan yang semakin menurun. Lansia menjadi lebih lemah, sering sakit dan mudah capek.  Hal ini menjadi permasalahan tersendiri yang dialami lansia, yang menjadi konflik internal dalam diri mereka. Sementara itu, konflik yang terjadi antara lansia dengan generasi kedua (anak) dan generasi ketiga (cucu) berupa ketegangan berkaitan dengan perbedaan pandangan ataupun selera antara lansia dan anak-anak serta cucu-cucunya. Pada prinsipnya persoalan itu cukup sederhana, misalnya perbedaan selera makanan, cara mengasuh dan mendidik anak dan hal lain yang kelihatan sepele. Namun karena ikut campurnya lansia dalam hal pola pengasuhan  anak yang berbeda pandangan itu menyebabkan konflik, dan seringkali orang tua (lansia) lebih sensitive dan mudah tersinggung jika tidak diikuti keinginannya. Hal ini bisa difahami karena lansia merasa sebagai orang yang lebih tua mengasumsikan diri sebagai orang yang lebih berpengalaman dalam berhidup.
Konflik social anatara lansia dan generasi ketiga/cucu terutama terjadi karena perbedaan gaya/lifestile yang semua bermuara pada perbedaan nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan yang berbeda. Ada keinginan lansia memepertahankan nialai yang dianggap lebihi baik diterapkan dan dipakai cucu mereka. Tetapi cucu telah mengalami proses perkembangan modernisasi dengan segala nilai-nilai yang dibawanya yang tentunya berbeda. Kondisi ini memicu perbedaan dan konflik antara lansia dengan cucunya.  
Meskipun begitu, ketika terjadi konflik antara mereka, ada upaya-upaya yang dilakukan untuk menghindari konflik agar tidak semakin tajam dengan cara meredakannya. Usaha meredakan konflik ini dilakukan oleh anak-anak maupun cucu-cucunya.  Cara-cara yang ditempuh adalah dengan melakukan tindakan yang tidak membuat wanita lansia  kecewa. Seringkali mereka tidak melakukan tindakan yang tidak dikehendaki lansia. Baru ketika lansia tidak mengetahui maka tindakan itu mereka lakukan (sembunyi-sembunyi). Ternyata ada nilai yang dipahami oleh anak-anak dan cucu-cucu bahwa ada semacam hukum karma jika berani pada orang tua. Mereka meyakini akan kuwalat jika menentang langsung orangtua. Jika berani kepada orang tua maka kelak akan dibalas oleh anak cucunya. Nilai-nilai ini sebetulnya bisa menjadi sarana untuk mendukung penghormatan dan penghargaan bagi lansia di pedesaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa: pada masyarakat pedesaan kawasan industry wanita lansia masih mendapat dukungan dari keluarganya. Meskipun mereka terlibat dengan industry sepatu dan tas, tetapi tidak mengabaikan wanita lansia sebagai orang tua yang perlu dihargai. Hal ini dilakukan karena mereka memiliki basis agama yang memahami adanya nilai untuk menghormati orang tua. Selain itu industri yang mereka jalankan berbasis industry keluarga (family based) sehingga masih memungkinkan mereka mengurus wanita lansia sebagai anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Cowgill.D.O, dalam Jill S. Quadagno, 1980, Aging, the individual and society, New York, St. Martin Press.

Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan konflik dalam masyarakat industry, Jakarta, CV Rajawali Press

Foner, Nancy, 1984, Ages in conflict, New York, Columbia University Press

Goldstein, M.C. dan Beall.C.M, 1982. Indirect modernization and the status of the elderly in a rural third world setting dalam journal Gerontology, 1982, Vol 37 no 6, 743-748

Hugo, Graeme, 1982, Ageing in Indonesia: A neglegted areaof policy concern population & human resources program, Australia: Flinders University.

Jones, gavin W., 1990, Consequences of Rapid Fertility Decline for Old Age Security in asia, Canberra, The Australian Nasional University.

Kendig, Hal. 1986, Perspective On Ageing and Families;   

No comments:

Post a Comment