Thursday, February 2, 2012

relasi kuasa lokal dan supralokal

KPM 724 - Analisa bacaan kuliah tgl. 2 dan 9 Mei 2011.
RELASI KUASA LOKAL DAN SUPRA LOKAL (KOLONIAL, INTERVENSI NEGARA DAN KEKUATAN HEGEMONI GLOBALISASI)*
Yunindyawati/I363100011**

Tulisan ini mencoba melihat kondisi masyarakat local dikaitkan dengan perkembangan yang dialaminya sebagai proses interaksi dengan kekuatan lain diluar mereka (supra lokal). Kekuatan-kekuatan luar itu antara lain colonial, intervensi Negara dan kekuatan global. Kekuatan-kekuatan tersebut menyebabkan  kondisi local mengalami proses perubahan social seperti diferensiasi social, stratifikasi sosial,  kesenjangan relasi gender, penggerusan budaya dan pengetahuan lokal serta pemiskinan.
Kekuatan ekspansi colonial  merupakan  salah satu factor terjadinya differensiasi social masyarakat ditunjukkan oleh Sunito, S (2008) What is Community in Community Based Natural Resource Management? Di Dalam A Matter of Mutual Survival. Social Organization of Forest Management in Central Sulawesi, Indonesia. Lit Verlag, Berlin.  Dalam tulisan tersebut digambarkan bagaimana differensiasi social terjadi pada komunitas Ngamba dan Kakao, yaitu adanya differensiasi sistem adaptasi antara masyarakat lembah dan dataran tinggi yang memiliki perbedaan ekosistem. Pada awalnya kedua komunitas ini dikenal sebagai orang Pekurehua.
Pada tahun 1905 kekuasaan kolonial Belanda memutuskan untuk mengambil wilayah ini langsung di bawah otoritasnya. Intervensi colonial Belanda pada kehidupan Pekurehua  antara lain melakukan pemindahan penduduk asli  (resettlement) sebagai alat control untuk uplands dengan mendudukkan valley sebagai pusat atau kota yang lebih besar untuk memudahkan akses bagi Belanda.  Karakter ekpansi Belanda di Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh misi Kristen yang terlibat dalam ekspansi birokrasi, dan keuangan sebagai alat Belanda  yang dikenal sebagai kepentingan untuk imperialism.  Dari ekpansi ini muncul pula differensiasi di bidang agama karena selain agama dan kepercayaan local mereka didihadapkan pada agama baru yakni Kristen yang dibawa colonial.
Setelah Indonesia merdeka intervensi Negara pada budaya local terus berlanjut. Melalui otoritas pemerintahan gubernur dan perencanaan top down, pemerintah mendorong struktur menetap  pada komunitas local. Bentuk Rumah tangga yang ada digantikan oleh bentuk rumah tangga inti gaya kota. Menurut Sunito, Etnolog Kauden menuliskan bahwa  proses pembangunan yang sangat cepat dengan menerapkan prinsip modernisasi membuat budaya asli menjadi sangat sedikit, mulai hilang bersama waktu. Intervensi Negara dalam pembangunan berimbas pula dalam pengelolaan lingkungan. Managemen pengelolaan sumberdaya alam yang dintervensi Negara ternyata mengabaikan dan memarjinalkan penduduk local yang justru memiliki harmoni dan hubungan dengan alam termasuk kaya akan pengetahuan menjaga keberlangsungan (sustainability) sumberdaya alam. Ide CBFM didasari pertama, kegagalan pendekatan modernisasi dimana salah satu effek pembangunan (modernisasi) adalah degradasi lingkungan. Kedua munculnya paradigm baru bersifat bottom up menggantikan top down melalui partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Ketiga gerakan hak asasi manuasia dan penduduk local terutama kelompok miskin.
Dari aspek gender di tulis oleh Savitri, Laksmi A. dan Michael Fremerey (2008) The shift of Domination: Agrarian Change and Gendered Local Knowledge in the Lore Lindu Area.  Di Dalam A Matter of Mutual Survival. Social Organization of Forest Management in Central Sulawesi, Indonesia. Lit Verlag, Berlin. Dalam tulisa tersebut ditunjukkan bagaimana perubahan agrarian sebagai akibat intervensi Negara menyebabkan relasi gender antara laki-laki dan perempuan menjadi timpang dan menghasilkan ketidakadilan. Hal ini terlihat dari kebijakan memproduksi kakao untuk keperluan pasar dunia ternyata telah menyebabkan kekuasaan dan pengetahuan perempuan dalam mengelola padi (sumber makanan) menjadi lebih rendah dan bahkan dihilangkan. Di banyak budaya, perempuan memiliki pengetahuan yang spesifik dalam mengelola pertanian, merawat tanaman dan memenej sumber daya yang unik bagi mereka. Hal ini menjadikan perempuan memiliki kekuatan dan posisi tawar yang tinggi terhadap laki-laki dalam berkehidupan. Namun dengan kebijakan dari nasi ke kakao demi kepentingan pasar dunia, telah menyebabkan transformasi dalam relasi gender. Selain itu terjadi pula transformasi dalam relasi produksi antara laki-laki dan perempuan dari tanaman subsisten ke tanaman pertanian komersial. 
Sementara itu, Frans Husken dan Benjamin White (1989) Social Differentiation, Food Production, and Agrarian Control. Di dalam G.Hart, A. Turton dan B. White. Agrarian Transformations. Local Processes and the State in Southeast Asia. Univ. of California Press, menggambarkan pola-pola yang mempengaruhi differensiasi social ekonomi di bawah tekanan penduduk yang akut di Jawa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, khususnya selama regim orde baru yang menerapkan revolusi hijau.
Beberapa studi telah menunjukkan konsekuensi penerapan revolusi hijau  di Jawa yang membawa pada ketidakseimbangan distribusi dan keuntungan dari penerapan teknologi dan mengidentifikasi berbagai macam mekanisme yang terjadi.  Beberapa studi sebelumnya yang menggambarkan bahwa masyarakat pedesaan di Jawa adalah homogeny dan relative egaliter terbukti tidak sepenuhnya benar. Telah terjadi transformasi struktur pedesaan dan khususnya  ketika terjadi komersialisasi pertanian menjadi awal terjadinya differensiasi social dan berakhirnya involusi yang digambarkan Geertz.
Pada masa colonial Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah yang mengeksploitasi koloninya dengan mengenalkan sistem pengolahan, mendorong mengolahan tanaman eksport kepada petani  dan atau menyewakan 20% tanah bagi pemerintah colonial untuk ditanami   tanaman eksport. Bagi yang tidak memiliki lahan maka mewajibkan mereka untuk bekerja di kebun-kebun milik colonial selama 1/5 tahun atau 66 hari.  Pada akhir pemerintahan colonial, peneliti Boeke mengamati terjadi dualism ekonomi  pada masyarakat dimana ada yang berorientasi tradisional dan berorientasi modern. Konsekuensi pandangan ini adalah terjadi stagnasi dalam kehidupan dimana tidak terjadi differensiasi social dalam masyarakat sebagaimana temuan Geertz tentang involusi pertanian.
Namun pandangan tersebut mendapatkan banyak kritikan dari berbagai pandangan lain. Ada pandangan yang menyebutkan bahwa telah terjadi pertentangan social yang didasarkan pada ketidakseimbangan akses terhadap tanah di Jawa dari jaman dulu. Karenanya telah terdapat konflik agrarian antara kelompok pemilik tanah, petani kecil, dan buruh tani yang tidak memiliki lahan berkaitan dengan pola penguasaan tanah, bagi hasil, upah dan lain sebagainya.  Selain itu komersialisasi agrarian, yang diterapkan oleh pemerintah colonial dengan mengenalkan sistem pengolahan untuk tanaman keras juga memberi andil bagi differensiasi masyarakat pedesaan.
Setelah Indonesia merdeka, di era Soekarno, Terjadi perbedaan pendapat di tingkat nasional antara partai politik, dalam menghadapi kondisi agrarian pada saat rakyat menduduki tanah-tanah bekas perkebunan asing. Pendapat pertama kelompok moderat yang setuju untuk mempertahankan onderneming dan kelompok kedua kelompok nasionalis yang setuju agrarian dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri. Perbedaan pendapat tersebut dalam banyak hal menyebabkan terjadinya kasus sengketa tanah berkepanjangan. Salah satunya adalah peristiwa Tanjung Morawa tahun 1953 (Pelzer dalam Suhendar,1998).
Kondisi  tersebut mendorong para pendiri Negara untuk memiliki kebijakan agrarian sendiri agar bisa melindungi rakyat. Akhirnya pada tahun 1960 lahirlah UUPA dan berhasil disahkan. Namun dalam pelaksanaanya dihadapkan pada timpangnya struktur penguasaan tanah terutama di Jawa, akhirnya reforma agrarian tidak berjalan mulus. Kemudian 13 Januari 1960 ditegaskan perlunya land reform untuk menghapuskan tuan-tuan tanah, mengurangi buruh tani, dan memberikan tanah pada mereka yang mengerjakan sendiri.
Namun land reform mengalami kegagalan karena PKI menginginkan agar ada aksi sepihak bahwa semua tanah yang dimilki oleh orang asing atau pemilik tanah orang Indonesia yang memiliki tanah luas di ambil alih dan dibagikan kepada petani secara Cuma-Cuma tanpa ganti rugi. Aksi sepihak ini dianggap sebagai cara yang adil dan legal untuk menerapkan UUPA dan UUPBH. Karena tindakan ini terjadi ketegangan antara PKI berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam kaum nasionalis dan militer (Rajaguguk; 1995).
Perkembangan selanjutnya pada era orde baru, land reform dianggap sebagai kebijakan yang menimbulkan konflik berkepanjangan, maka land reform dihentikan. Kebijakan ini kemudian dialihkan kepada kebijakan transmigrasi yang termanifestasikan dalm UU transmigrasi 1972. Pada era orde baru tahun 1967 pemerintah mengeluarkan UU-PMA dan UU-PMDN untuk mendapatkan dana cepat.
Terutama semenjak pada era orde baru 1966 hinga sekarang, control politik dan strategi produksi yang dijalankan dan diintervensikan pemerintah juga mempengaruhi kehidupan local/masyarakat pedesaan. Dikeluarkannya UU no 5 tahun 1979 memudahkan pemerintah mengontrol desa sebagai bagian dari kekuasaannya. Salah satu bentuk intervensi pemerintah di bidang pertanian adalah dengan menerapkan revolusi hijau sebagai upaya menghasilkan produksi padi untuk mengatasi kelangkaan pangan/kemiskinan. Program bimas dan subsidi pemerintah mengalir untuk revolusi hijau. Negara juga menjalin korporasi dengan perusahaan multi nasional untuk pengadaan pupuk, insektisida managemen ekstensifikasi, termasuk teknologi dan juga bibit IR dari Los Banos.
Namun penerapan revolusi hijau ini memarginalkan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan dan kekuasaan mengelola alam dengan menanam makanan subsisten seperti padi. Selain itu dampaknya terhadap petani dan perempuan yang tidak memiliki tanah, mereka tersingkir dari proses pertanian dan banyak yang bermigrasi ke kota menjadi buruh upah dan memasuki sector informal di kota. Karena patronasi Negara dalam bentuk subsidi seperti revolusi hijau ternyata diadopsi dan dimanfaatkan oleh elit pemilik tanah dengan melakukan strategi akumulasi intensifikasi, ekstensifikasi pertanian dan mengkombinasikan dengan berwirausaha. Akibatnya kesenjangan social masyarakat desa semakin lebar. Karenanya Husken berargumen bahwa patronasi Negara menjadi tidak produktif dan memiliki efek pada terbentuknya pola differensiasi social dan membagi masyarakat pedesaan.
Sejalan dengan itu tulisan Gillian Hart (1989) Agrarian Change in the Context of State Patronage. Di dalam G.Hart, A. Turton dan B. White. Agrarian Transformations. Local Processes and the State in Southeast Asia. Univ. of California Press, menunjukkan bahwa perubahan agrarian berkaitan erat dengan patronase Negara. Dia menunjukkan di beberapa Negara asia selatan seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan Philipina  sistem patronase Negara memberi pengaruh dalam perubahan agrarian.  Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan dimana patronase Negara menghasilkan sebuah investasi yang tidak produktif.  Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa patronase Negara dimanfaatkan oleh elit dominan yang membuat aliansi dengan pengusaha dan kekuatan supra desa lainnya.  Sementara itu yang terjadi di Malaysia dan Philipina memiliki kesamaan dimana pataronase Negara/pemerintah memiliki perhatian yang lebih dari pada Indonesia dan Thailand dalam membangun dan mendukung petani pedesaan.  Para elit kekuasaan mensupport petani dengan memperhatikan mendengar keluhan petani untuk kemudian membawa kepada  kebijakan pemerintah agar para elit strata atas memberikan provisi sumberdayanya kepada masyarakat pedesaan. Dengan demikian maka mereka akan memobilisasi dukungan pada petani kecil di pedesaan.
Dari studi di Asia itu Hart memberikan saran bahwa pentingnya memahami perubahan agrarian dikaitkan dengan differensiasi  dengan memahami proses kekuatan ekonomi  dan politik sebagai proses dialektikal dari pada proses linier.  Hal ini menunjukkan intervensi Negara menjadi inefisien, dan kemudian yang menjadi penting adalah bagaimana perjuangan kekuasaan pada level yang berbeda dalam masyarakat antara satu dengan yang lain dikaitkan dengan  akses dan control terhadap sumber daya.
Sementara itu, Jan Breman & Gunawan Wiradi (2002) Good Times and Bad Times in Rural Java. KITLV., Leiden.      Bab 1 Prolog 1-55, Bab 2. Kerja dan Kehidupan di Daerah Pesisir Jawa. 57-125, menyoroti bagaimana efek global dari krisis ekonomi dirasakan oleh masyarakat local di Jawa yakni Cirebon dan Subang. Banyak buruh dan pekerja sector informal mengalami pemiskinan, kesenjangan berkembang  antara RT di pedesaan.   Dicanangkannya jaring pengaman social untuk mengatasi krisis dianggap gagal, oleh karenanya perlu reformasi dari bawah ke atas (bottom up). Sejalan dengan studi Wertheim  dan Boeke, tentang perlunya revitalisasi komunitas dan kebijakan pedesaan yang berpihak pada orang miskin pedesaan. Dalam perkembangannya harapan dari kedua peneliti tersebut tidak terwujud.  Menurut Wiradi dan White, satu-satunya cara untuk menjamin kehidupan bagi tenaga kerja/buruh adalah dengan meningkatkan upah mereka. Selama orde baru meningkatkan upah  buruh terabaikan sebagai bagian strategi pertumbuhan, menuntut hemat ongkos. Pada saat upah minimumdiperkenalkan, khususnya di sector informal di industry di perkotaan, control atas ketundukan terhadap peraturan resmi tidak ada. Hal ini bukan karena pertimbangan ekonomi semata tetapi juga terdapat pertimbangan politis dimana terdapat ketakutan terjadinya pergeseran perimbangan social yang menguntungkan golongan bawah yang luas, maka kaum elit yang berkuasa membiarkan massa pekerja tetap tidaak kelihatan dan terpecah-pecah. Mereka bukan dilindungi tetapi sebaliknya ditentang dan ditindas.
Tulisan Ankie Hoogvelt (1997) Globalisation and The Postcolonial World. The New Political Economy of Development. McMillan Press. Bab 6 Globalisation, pp 114-131, menggambarkan bagaimana diskursus globalisasi bisa memenangkan wacana dunia. Istilah globalisasi digunakan sekitar pertengahan 1980an menggantikan istilah internasionalisasi dan transnasionalisasi. Konsep ini menggambarkan intensifnya jaringan interaksi manusia yang lintas batas. Untuk mendalami globalisasi Hoogvelt membedahnya dengan sosiologi globalisasi. Terdapat perbedaan formulasi globalisasi ditinjau dari aspek teori sosiologi. Adalah  Roland Robertson, David Harvey dan Anthony Giddens memberikan bahasan tentang globalisasi dari perspektifyang berbeda.
Roland Robertson membahas globalisasi dengan sudut pandang teori sistem ala Parsonian. Menurutnya telah terjadi suatu proses dari sistem social dibangun di tingkat global.  Awalnya proses globalisasi masih terkendala oleh arena cultural yang mencegah masuknya seluruh sistem pembangunan. Globalisasi pada level cultural mulai terjadi karena dua hal; pertama ; tekanan dunia, karena adanya interdependensi ekonomi. Kedua; kesadaran global, karena tekanan dunia yang sangat intensif pada akhirnya menghasilkan kesadaran global.
David Harvey membahas globalisasi dari perspektif teori sosiologi kontemporer yang menekankan adanya tekanan ruang dan waktu.  Menurutnya siapapun dan apapun kita dalam  masyarakat memerlukan symbol ruang dan waktu. Organisasi ruang didefinisikan sebagai hubungan bukan hanya kegiatan tetapi juga antar manusia. Artinya didefinisikan sebagai relasi social. Penguasaan organisasi ruang merupakan kunci kekuasaan. Selain ruang wajtu juga menjadi sumber nilai dan kekuasaan. Waktu dikonotasikan dan didefinisikan sebagai uang itu sendiri. Waktu produksi bersama dengan waktu sirkulasi pertukaran mengacu pada apa yang disebut perputaran waktu capital. Anthony Giddens melihat tentang jarak waktu dan ruang. Integrasi global dirasakan dari tumbuhnya penyatuan dan interpenetrasi kondisi manusia didorong oleh logika ekonomi dari akumulasi capital.
Dari berbagai literature yang sudah diuraikan diatas maka bisa diambil benang merah bahwa hubungan dan interaksi masyarakat lokal/pedesaan dengan kekuatan di luar dirinya ternyata mampu mendorong terjadinya berbagai perubahan social. Artinya masyarakat itu bersifat dinamis tidak statis, tidak homogeny dan terdapat differensiasi, stratifikasi, kesenjangan serta ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan adanya interaksi dan intervensi dari luar ternyata berdasarkan tulisan-tulisan tersebut membawa masyarakat desa pada posisi yang tertindas, termarginalkan dan mengalami pemiskinan baik dari segi materi ekonomi maupun nilai budaya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
DAFTAR PUSTAKA

Frans Husken dan Benjamin White (1989) Social Differentiation, Food Production, and Agrarian Control. Di dalam G.Hart, A. Turton dan B. White. Agrarian Transformations. Local Processes and the State in Southeast Asia. Univ. of California Press.
Gillian Hart (1989) Agrarian Change in the Context of State Patronage. Di dalam G.Hart, A. Turton dan B. White. Agrarian Transformations. Local Processes and the State in Southeast Asia. Univ. of California Press. 
Hoogvelt, Ankie (1997) Globalisation and The Postcolonial World. The New Political Economy of Development. McMillan Press. Bab 6 Globalisation, pp 114-131.
Jan Breman & Gunawan Wiradi (2002) Good Times and Bad Times in Rural Java. KITLV., Leiden.      Bab 1 Prolog 1-55, Bab 2. Kerja dan Kehidupan di Daerah Pesisir Jawa. 57-125.
Moore, Barrington, 1967. Social origins of dictatorship and democracy: Lord and peasant in the making of the modern world. Boston; Beacon Press
Rajagukguk, Erman. 1995, Hukum Agraria, Pola penguasaan tanah dan Kebutuhan hidup, Jakarta: Chandra Pratama
Soetarto, Endriatmo, 2006, Elit dan Rakyat, Yogyakarta, Lapera
Suryo, Djoko, 2009, Transformasi Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: STPN
Suhendar, Endang, 2002. Menuju Keadilan Agraria, Bandung: Akatiga
_______________, 1997. Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga
Sunito, S (2008) What is Community in Community Based Natural Resource Management? Di Dalam A Matter of Mutual Survival. Social Organization of Forest Management in Central Sulawesi, Indonesia. Lit Verlag, Berlin.
Savitri, Laksmi A. dan Michael Fremerey (2008) The shift of Domination: Agrarian Change and Gendered Local Knowledge in the Lore Lindu Area.  Di Dalam A Matter of Mutual Survival. Social Organization of Forest Management in Central Sulawesi, Indonesia. Lit Verlag, Berlin.

No comments:

Post a Comment