Thursday, February 2, 2012

KESENJANGAN GENDER

BENTUK DAN FAKTOR KESENJANGAN GENDER
OLEH: YUNINDYAWATI

A. Pendahuluan
Keluarga merupakan unit social terkecil dalam masyarakat. Seperangkat peran dan fungsi melekat pada keluarga antara lain; biologis atau reproduksi, proteksi/perlindungan, ekonomi, edukasi, sosialisasi, afeksi, religi, rekreasi dan pengendalian social. Keberhasilan keluarga menjalankan seperangkat peran dan fungsinya akan berpengaruh pada kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Hal ini menunjukkan bahwa institusi keluarga  sangat berperan penting (krusial) bagi pembangunan nasional.
Pembangunan nasional bertujuan mensejahterakan masyarakat dan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang dimaksud adalah manusia baik laki-laki maupun perempuan. Artinya dalam pembangunan, baik proses pembangunan maupun pemanfaatan hasil pembangunan, pemerintah tidak membedakan kali-laki dan perempuan.
Namun di berbagai sektor kehidupan banyak indikator menunjukkan perempuan tertinggal dibanding laki-laki dalam hal memperoleh kesempatan, peluang dan hasil-hasil pembangunan. Contoh kongrit dapat dilihat pada angka melek huruf, Angka Partisipasi Kerja, proporsi siswa/mahasiswa, dan juga dalam pengelolaan dan proses pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan gender di hampir seluruh sendi kehidupan.
Kesenjangan gender ini disebabkan oleh faktor sosiokultural, terutama peran keluarga yang mensosialisasi dan internalisasi nilai-nilai patriarkhi. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan kesenjangan gender ini perlu memberdayakan keluarga agar memiliki wawasan gender sehingga peran sosialisasi nilai gender bisa diawali dari keluarga.
Penelitian ini dilakukan untuk  mengetahui bagaimana kesenjangan gender terjadi pada keluarga miskin di kelurahan 29 Ilir kecamatan Ilir Barat II kota Palembang Sumatera Selatan. Fokus penelitian ini adalah bagaimana bentuk-bentuk kesenjangan gender dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kesenjangan gender pada keluarga miskin.
             Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis diharapkan dapatmenambah wacana pada mata kuliah sosiologi gender. Manfaat praktisnya diharapkan bisa memberi masukan pada penyelesaian masalah kesenjangan gender pada keluarga miskin.

B. Tinjauan Pustaka
Kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan social yang terbatas. Kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Kemiskinan juga berarti kelaparan, kekurangan gizi, perumahan yang tidak memadai, pendidikan yang rendah dan sedikit sekali mendapatkan pelayanan kesehatan yang elementer (Bayo Alo, Andre, 1996:4).
Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standart hidup yang rendah, yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segologan orang dibandingkan dengan standart kehidupan yang umum berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Tolok ukur yang umum dipakai untuk menilai tingkat kemiskinan adalah tingkat pendapatan, kebutuhan relaif keluarga, yang batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi sebuah keluarga untuk dapat hidup secara sederhana, memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Yang termasuk tolok ukur ini adalah biaya sewa rumah, mengisi rumah dengan peralatan yang memadai, biaya untuk memelihara kesehatan dan pengobatan, biaya untuk menyekolahkan anak-anak dan biaya untuk sandang yang sewajarnya dan pangan yang sederhana tetapi mencakup dan memadai (Suparlan, 1997).
Menurut Robert Chambers, kemmiskinan disebabkan oleh berbagai factor yang membentuk jaringan dan saling berkaitan. Factor yang membentuk jaringan berupa perangkap kemiskinan (Soetomo, 1995).meliputi;
1.      Kemiskinan, ditandai oleh ketidakmampuan memenuhhi kebutuhan pokoksandang, pangan dan papan secara wajar, tidak jarang banyak kaum miskin dalam berusaha memenuhi kebutuhannya selalu gali lubang tutup lubang demi mempertahankan hidupnya.
2.      Kelemahan fisik, disebabkan lemahnyna ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kuantitas maupun kualitas sehingga konsumsi gizi mereka rendah yang berakibat pada rendahnya produktifitas mereka.
3.      Isolasi, masyarakat miskin dapat terisolasi secara geografis sehingga mereka tidak mendapatkan sumber-sumber informasi yang ada. Tidak jarang terdapat wilayah kantong-kantong kemiskinan.
4.      Kerentanan, keluarga miskin sangat rentan mendapatkan berbagai masalah sehingga mereka mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tersebut.
5.      Ketidakberdayaan, orang miskin tidak berdaya menghadapi orang-orang yang dianggap lebih dari mereka (golongan yang mempunnyai kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi) sehingga aspirasi mereka yang menyangkut nasib golongan miskin tidak teraktualisasi.
Kesenjangan gender merupakan kondisi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga bermasyarakat serta berbangsa dan bernegara. Kesenjangan gender terjadi karena adanya sub ordinasi kekuasaan yang satu lebih tinggi atau lebih penting dibandingkan yang lain, antara laki-laki maupun perempuan. Untuk mengatasi terjadinya kesenjangan gender di masyarakat maka pemerintah mempunyai program pembangunan pemberdayaan perempuan. Hal ini dilakukan karena pada kenyataannya perempuan lebih tertinggal dari laki-laki.
Pembangunan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia memiliki visi terwujudnnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender adalah merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional. Program kesetaraan gender  terintegrasi dalam berbagai program kegiatan dari sektor pembangunan yang terkait.  Usaha-usaha  untuk mencapai kesetaraan Gender  dilakukan dengan mengeluarkan Inpres no. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Pengarusutamaan Gender merupakan upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat. Dengan PUG ini pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsive gender. Keuntungan dari penyelenggaraan PUG diidentifikasikan pada laki-laki dan perempuan, diantaranya:

a.       Memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan

b.      Berpartisipasi yang sama dalam pembangunan termasuk proses pengambilan keputusan

c.       Memiliki kontrol yang sama atas sumber daya pembangunan

d.     Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan

Strategi pemerintah untuk mewujudkan keberhasilan pengarusutamaan Gender ini dilakukan dengan menggunakan strategi yang dikenal sebagai analisis Gender. Analisis Gender dipakai sebagai cara untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai kedudukan dan peranan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan pembangunan di segala bidang.  Teknik analisis Gender dimaksukan untuk mengetahui kesenjangan dan ketimpangan  kedudukan dan peranan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan.
Analisis gender juga bisa digunakan sebagai alat untuk melihat ketidaksetaraan/kesenjangan gender. Dari data ketidaksetaraan/kesenjangan gender dapat diidentifikasi permasalahan gender di berbagai instansi, bidang dan wilayah tertentu. Setelah diketahui permasalahan gender, maka upaya penyelesaian masalah melalui program/kegiatan yang responsive gender dapat direkomendasikan/di prioritaskan. Kesenjangan dan ketimpangan Gender bisa menjadi latar belakang dan titik awal untuk memperoleh informasi dalam rangka meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan, sehingga pengarusutamaan Gender bisa terwujud.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor penyebab kesenjangan gender pada keluarga miskin di kelurahan 29 Ilir kecamatan Ilir Barat II Palembang. Informan diambil secara purposive yaitu anggota keluarga miskin; baik suami, istri dan anak yang bisa memberikan informasi yang dibutuhkan. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam (in depth interview) dengan menggunakan guide interview kepada para informan meliputi; karakteristik keluarga miskin, bentuk-bentuk kesenjangan gender dan faktor yang menyebabkan kesenjangan gender pada keluarga miskin. Data sekunder dimanfaatkan untuk menunjang data primer berupa data yang relevan dengan materi dan topik penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Analisis mulai dilakukan selama pengumpulan data berlangsung, tetapi proses analisis yang intensif dilakukan sesudah pengumpulan data selesai.
D. Hasil dan Pembahasan
Bentuk kesenjangan gender terjadi pada keluarga miskin di kelurahan 29 Ilir Palembang meliputi beberapa bentuk antara lain; kesenjangan gender dalam pekerjaan domestic,  kesehatan reproduksi, partisipasi politik, akses pendidikan anak, kehidupan demokrasi dan kehidupan ekonomi keluarga
  1. Kesenjangan gender dalam pekerjaan domestik (Rumah Tangga)
Menurut informan Vera dalam kehidupan sehari-hari, menyangkut masalah pekerjaan domestik dalam keluarganya, tidak ada pembagian kerja/pembagian tugas diantara anggota keluarga. Semua pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dikerjakan sendiri oleh informan. Berikut pengakuan informan;
“Aku ne lah, yo biaso gawe betino masak, nyuci, beberes rumah, aman lah sudah galo baru pacak santai”

“Saya inilah, ya biasa pekerjaan perempuan, masak, nyuci, membersihkan rumah, kalau sudah semua baru bisa santai”

Sementara itu suami informan hanya berurusan dengan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga;
“Nyari duit untuk makan, samo ongkos budak nak sekolah. Sehari-ari dapet upah 30 ribu itu bae abis untuk ongkos rumah sehari-ari, untuk beli sayur, duit jajan budak, banyaklah pengeluaran lain ne”

“Mencari uang untuk makan, sama ongkos anak-anak sekolah. Sehari-hari dapat upah 30 ribu itu saja habis untuk ongkos rumah tangga sehari-hari, untuk beli sayur, uang jajan anak-anak, banyaklah pengeluaran lain”

Suami informan tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan informan sendiri mengaku pekerjaan suami sebagai buruh bangunan sudah menyita dan menguras tenaga sehingga tidak mungkin untuk bekerja pekerjaan rumah tangga. Berikut penuturan informan;
“Dak pernah, olenyo kan dio begawe diluar rumah jadi tukang, mada’i laki aku balek-balek disuruh masak dewek kalu nak makan, lokak dimarainyo”

“Tidak pernah, soalnya kan dia (suami) diluar rumah jadi tukang bangunan, masa’ iya suami saya pulang kerja disuruh masak sendiri kalau mau makan, bisa kena marahinya (suami) nanti”

Dalam hal pengasuhan anak dalam keluarga ternyata beban tugasnya juga diserahkan kepada istri. Hal ini  karena perempuan dianggap sebagai orang rumah yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah dan pengasuhan anak.
“Budak-budak ne kan dirumah samo aku, yo galo-galonyo aku, palingan kalu dio lah balek galak ado ngajari budak mbuatke PR sekolahnyo”

“Anak-anak ka nada dirumah sama saya, ya..semuanya saya, paling kalau dia(suami) sudah pulang sering ada yang mengajari anak membuatkan PR sekolahnya”

Sementara itu informan Nurhayati mengaku bahwa dalam keluarga mereka tidak ada pembagian kerja yang jelas. Mana pekerjaan yang bisa dikerjakan, akan informan kerjakan.
“Ai dek kalu dirumah ne basengnyo lah, yang pacak digaweke yo gaweke. Kalu bagi-bagi tugas tu rasonyo dak katek”

“Aduh dik, kalau kebiasaan dirumah ini terserahlah, yang bisa dikerjakan ya dikerjakan. Kalau bagi-bagi tugas itu rasanya tidak ada”

Pekerjaan domestik (memasak, mencuci, membersihkan rumah) dikerjakan sendiri oleh informan. Dia menganggapa bahwa memang pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan perempuan. berikut penuturannya;
“Yang itu gawe anak betino, ado yang masak, nyuci, ngepel, yo macem-mecemlah”

“Yang itu pekerjaan anak perempuan, ada yang masak, nyuci, ngepel, ya macam-macamlah”

Tugas laki-laki dalam keluarga informan dikonotasikan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup keluarga serta pekerjaan yang berbau laki-laki seperti pekerjaan yang seakan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki..
“Anak lanang biasonyo ngerewangi bapaknyo nyervis kursi kalu ado pesenan, atau beneri genteng kalu bocor”

“Anak laki-laki biasanya membantu bapaknya servis kursi kalau ada pesanan, atau membetulkan genteng kalau ada yang bocor”

Anak laki-laki dan suami tidak pernah membantu melaksanakan tugas atau pekerjaan domestik. Berikut pengakuan informan;
“Galo-galo anak lanang aku dak katek yang galak disuruh masak, apo ngepel katonyo malu agek diomongke banci pulo, lagi pulo itu gawe betino”

“Semua anak laki-laki saya tidak ada yang mau disuruh memasak, atau mengepel, katanya malu nanti dilihat orang dibilang banci pula, lagi pula itu pekerjaan perempuan

Ada perasaan malu pada diri laki-laki ketika harus mengerjakan/berurusan dengan pekerjaan rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah tangga memang dikonotasikan dengan pekerjaan perempuan sehingga jika ada laki-laki melakukannya dianggap seperti perempuan dan malu jika posisinya sama seperti perempuan.
Selain itu, jika perempuan menuntut suaminya membantu pekerjaan rumah, ada perasaan takut jika nanti meminta bantuan, karena pasti suami akan marah. Kondisi ini tentunya akan membuat pekerjaan domestik semakin menjadi tanggung jawab perempuan dan laki-laki seakan lepas tangan, meskipun sebenarnya memiliki waktu luang dan kesempatan memberikan bantuan kepada perempuan. berikut pengakuan informan.

 “Lokak keno marah nyuruh dio masak, apo ngepel badannyo la capek ngangkuti beras digudang DOLOG pasar 16 Ilir tu”

“Bisa kena marah nyuruh dia (suami) memasak, atau ngepel badannya sudah capek mengangkut beras di gudang DOLOG pasar 16 itu”

Pada diri perempuan/istri seakan sudah tertanam bahwa suami mereka sudah capek mengerjakan pekerjaan mereka mencari uang jaadi tidak perlu membantu pekerjaan rumah tangga.
  1. Kesenjangan gender dalam bidang kesehatan reproduksi
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu bidang kehidupan manusia yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Kesehatan reproduksi memberikan andil bagi perkembangan dan jumlah populasi penduduk. Jika kesehatan reproduksi masyarakat tidak bagus maka kuantitas dan kualitas penduduk juga terganggu. Banyak kasus terjadi penurunan derajat kesehatan karena masyarakat kurang memperhatikan kesehatan reproduksi.
Kesehatan repdroduksi utamanya mengarah pada perempuan. Hal ini dikaenakan organ reproduksi perempuan lebih rumit dan kompleks dari pada laki-laki. Secara kodrati perempuan memiliki organ reproduksi yang memungkinkan manusia bisa melestarikan hidup dan keturunannya. Jika kesehatan reproduksi tidak di rawat dan dijaga akan memungkinkan berbagai penyakit yang bisa mematikan seperti kanker rahim tumor, infeksi dan lainya.
Kesehatan reproduksi bisa terwujud bila terjalin kerja sama yang baik antara suami istri dalam memelihara kesehatan. Adanya saling pengertian dalam menentukan jumlah anak, hubungan seksual dan hal lain yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi akan berperan menjaga kesehatan reproduksi.
Dalam menentukan berapa jumlah anak yang sebaiknya dimiliki, para informan mengaku tidak pernah dibicarakan bersama suaminya. Dalam melakukan hubungan suami istri, biasanya informan dan suami sama-sama menginginkannya, tetapi jika istri/informan sedang capek karena terlampau lelah bekerja pekerjaan rumah seharian, maka informan mengaku terpaksa melayani suaminya. Berikut penuturan informan;

“Yo samo-samo mangko anak kami lah empat ne, tapi galak jugo ye kalu badan tu la lesu nian, kan capek kito tu kan ngurusi rumah searian, dio nak mintak yo sudah tepakso diladeni”

“Ya sama-sama mangkanya anak kami sudah (4)empat ini, tapi sering juga kalau badan itu sudah capek sekali,  kan capek kita itu kan ngurusi rumah seharian, dia (suami) mau minta ya sudah terpaksa dilayani”

Ketika ditanya apakah ada pemikiran bersama untuk menggunakan alat kontrasepsi, informan mengaku tidak pernah dibicarakan. Berikut keterangan tentang riwayat penggunaan alat kontrasepsi;
“Dak pernah dek, dulu aku pernah beKB tapi caknyo dak cocok, olehnyo rai aku jerawatan, jadi aku lepas baelah”

“Tidak pernah dik, dulu saya pernah pakai KB tapi sepertinya tidak cocok, soalnya muka saya jerawatan, jadi saya lepas”

Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan keluarga khususnya menyangkut kesehatan reproduksi, belum terdapat kesetaraan gender. Antara suami dan istri belum bisa mengkomunikasikan berapa anak yang ideeal untuk dimiliki; kontrtasepsi apa yang baik digunakan serta dalam melakukan hubungan intim suami istri.
  1. Kesenjangan gender dalam partisipasi politik
Partisipasi politik merupakan keikutsertaan individu dalam menentukan pilihannya baik dalam pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daeran. Partisipasi ini bisa bersifat otonom dan mobilisasi. Partisipasi otonom menyangkut keikutsertaan secara sukarela dalam pemilihan sedangkan partisipasi mobilisasi adalah keikutsertaan yang tidak bebas, mengikuti kehendak orang yang memobilisir.
Dalam keluarga miskin 32 Ilir partisipasi politik bisa mengandung kesenjangan gender ketika perempuan tidak memiliki otoritas sendiri dalam menentukan pilihan politiknya. Sangat dimungkinkan kehendak suami bisa mempengaruhi hak pilih sang istri.
Menurut informan Vera, dalam pemilukada yang berlangsung di Palembang baik memilih Walikota maupun gubernur, dirinya mengatakan tergantung apa pilihan suaminya. Berikut ini pengakuan informan;

“Soal milih-milih tu basengnyolah, nurut bae apo kendak laki, uji dio yang itu payo…melok nyoblos”

“Soal milih-milih itu sembaranglah, nurut saja apa keinginan suami, kata dia (suami) yang itu ikut coblos”

                       
            Sama halnya dengan informan Siska yang mengaku dalam hal pemilihan umum maupun pemilukada sseluruh anggota keluarga biasanya saling mengajak untuk memberikan suara/pilihan yang sama seperti penuturan informan berikut;

 “Bebas bae, siapo pulo yang tau kalu lah didalem kotak pemilih tu, tapi biasonyo yang namonyo laki-bini serumah tu samo galo siapo yang nak dipilih, olehnyo tu galak seajak’an”

“Bebas saja, siapa juga yang tau kalau sudah didalam kotak pemilih itu, tapi biasanya yang namanya suami-istri serumah itu sama semua siapa yang mau dipilih soalnya sering saling ajak mau pilih siapa”

Hal ini menunjukkan partisipasi politik istri/perempuan dalam keluarga masih bersifat partisipasi mobilisir. Artinya dalam menentukan pilihan politik masih diintervensi oleh suami/laki-laki.
  1. Kesenjangan gender dalam akses pendidikan bagi anak
Pendidikan bagi anak merupakan hak anak yang seyogyanya dipenuhi oleh orangtua. Pendidikan anak merupakan kebutuhan hidup yang dapat dijadikan bekal untuk kelangsungan hidup berikutnya. Namun karena kondisi kemiskinan yang dialami keluarga miskin, seringkali orangtua keluarga miskin tidak mampu memberikan bekal pendidikan secara maksimal. Biasanya mereka menyekolahkan anak sesuai dengan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Akibatnya seringkali keluarga miskin menentukan prioritas diantara anak laki-laki dan perempuan tentang siapa yang selayaknya di sekolahkan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya  kesenjangan gender dalam pendidikan anak di keluarga miskin.
Padahal sebetulnya keluarga miskin sudah menyadari pentingnya pendidikan bagi anak di jaman sekarang yang serba penuh persaingan dalam mendapatkan pekerjaan. Umumnya ukuran diterima kerja biasanya harus memiliki ijasah pendidikan formal tertentu.
Ketika ditanya menganai anggapan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi informan membrikan argumentasi sebagai berikut;

“Mungkin kalu anak betino tu kan ageknyo punyo laki nah dio nak ngurusi lakinyo, anaknyo, nak masak, yo untuk apo sekolah tinggi kalu Cuma dirumah bae, contohnyo anak aku yang nomor tigo tu jaman dulu nyari sekolah saro jadi belum tamat SD lah nak belakilah yo lajulah”

“Mungkin kalau anak perempuan itu kan nantinya punya suami, nah dia akan melayani suaminya, anak-anaknya, akan memasak, ya…untuk apa sekolah tinggi kalau Cuma dirumah saja, contohnya anak saya yang nomor tiga itu, jaman dulu mencari sekolah masih sulit jadi belum tamat SD sudah mau menikah ya.. silahkan”

Dalam hal cara informan mendidik anak-anak, informan mengaku membedakan jenis mainan antara anak laki-laki dan perempuan. seperti penuturannya sebagai berikut;

“Biaso bae lah cak wong lain, kalu anak lanang yo masih kecik dulu kan dari bajunyo bae, lain galak ado gambar robot-robotan, kalu yang betino make rok. Tapi kalu anak betino dari kecik biasonyo lah dibiasoke nolongi ibu’nyo didapur biar tebiaso terus dak jadi pemales”

“Biasa saja seperti orang lain, kalau anak laki-laki ya masih kecil dulu kan dari pakaiannya saja lain maunya ada gambar robot-robotan, kalau yang perempuan memakai rok. Tapi anak perempuan dari kecil biasanya sudah dibiasakan nolongi ibu’nya didapur biar terbiasa terus tidak jadi pemalas”

Ternyata memang sejak di lingkungan keluarga pembedaan antara laki-laki dan perempuan sudah ada. Hal ini menunjukkan proses sosialiasi keluarga telah bias gender. Jika hal ini dibiarkan maka  tradisi patriarkhi akan semakin berurat di masyarakat.

Sementara itu informan Sri juga mengatakan bahwa pendidikan anak sangat penting seperti pengakuannya sebagai berikut;

“Yo pentinglah dek, sekarang ne yang sarjana bae banyak yang nganggur apo lagi yang idak sekolah samo sekali tambah nian dak dipake wong, paling-paling jadi kuli atau bejualan dipasar itu bae perlu modal”

“Ya pentinglah dik, sekarang ini yang sarjana saja banyak yang nganggur apa lagi yang tidak sekolah sama sekali tambah tidak dipakai orang (perusahaan) untuk bekerja, paling-paling-paling jadi kuli atau berjualan dipasar itu saja perlu modal”

Menyadari pentingnya pendidikan bagi anak informan mengaku akan menyekolahkan kelilma amaknya. Berikut pengnakuan informan;

“Anak aku limo-limonyo nak kusekolahke galo, yang paling besak sekarang lah SMU kelas 1, adek-adeknyo ado yang masih SMP, samo SD nah yang bungsu belom sekolah”

“Anak saya lima-limanya ingin saya sekolahkan semua, yang paling besar sekarang sudah duduk di SMU kelas 1(satu), adik-adiknya ada yang masih SMP, sama SD, nah yang bungsu belom sekolah”

Sementara itu ketika dimintai pendapat mengenai anggapan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi maka informan mengatakan bahwa  hal itu keliru. Berikut pernyataan informan;

“Salah itu, sekarang ne dak katek bedanyo lagi, baik itu lanang apo betino samo bae, kalu pacak pinter galo, lah banyak kan sekarang betino yang jadi pemimpin perusahaan, jadi presiden olehnyo mereka tu pinter”

“Salah itu, sekarang ini tidak ada bedanya lagi, baik itu laki-laki atau perempuan sama saja, kalau bisa pintar semuanya, sudah banyak kan sekarang perempuan yang jadi pemimpin perusahaan, jadi presiden…soalnya mereka itu pintar”

                        Informan Sri telah memiliki kesadaran bahwa anak perempuan mempunyai kesempatan yang sama mendapatkan pendidikan sampai jenjang yang tinggi. Meskipun informan termasuk kategori memiliki keluarga miskin tetapi kesadaran mendudukkan posisi anak laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama telah dimiliki informan. 


Informan Nova, juga menganggap pendidikan anak penting berikut pengakuannya;

“Iyo penting lah dek, Tapi ongkos nak sekolah mahal nian, Kato wong sekarang sekolah gratis tapi masih jugo nak ongkos, duit buku, duit jajan, pensil, pena, seragam apo lagi banyak nian”

“Iya penting lah dik, tapi biaya sekolah itu mahal sekali, kata orang sekarang sekolah gratis tapi masih juga mau biaya, uang buku, uang jajan, pensil, pena, seragam, apa lagi banyak sekali”


Namun karena kondisi kemiskinan yang dialami informan, maka ke delapan  anak-anaknya tidak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. berikut pengakuan informan;

“Anak ibu sekolah galo, anak aku yang pertamo betino sampe SD, yang sekarang sudah kawen tu, terus kalu yang lanang nomor duo tamat SMP sekarang nolongi bapaknyo nyari duit jadi tukang angkut barang di pasar 16,yang ketigo masih SD kelas 5, adeknyo SD jugo kelas 4, Nah sisonyo belom masuk sekolah”

“Anak ibu itu sekolah semua, anak saya yang pertama perempuan sampai SD, yang sekarang sudah menikah, terus kalau yang laki-laki nomor dua tamat SMP sekarang membantu suami saya mencari uang jadi tukang angkut barang dipasar 16,yang ketiga masih SD kelas lima, adiknya SD juga kelas 4 (empat), nah sisanya belum masuk sekolah”

Sementara itu, ketika ditanya pendapatnya tentang anggapan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi. informan mengaku memang anak laki-laki harus memiliki pendidikan lebih tinggi dari anak perempuan karena kelak ia akan menjadi kepala rumah tangga. Berikut pengakuan informan;

“Kalu anak lanang ageknyo kan bakal jadi kepala keluargo yang ngidupi anak samo bininyo mangkonyo dio mesti lebih pinter, tapi kalu betino ne nurut bae, paling dirumah ngurusi anak, samo ngelayani lakinyo agek”

“ Kalau anak laki-laki nantinya kan bakal jadi kepala keluarga yang menghidupi anak dan istrinya mangkanya dia mesti lebih pintar, tapi kalau perempuan ini nurut saja, paling dirumah merawat anak dan melayani suami”

            Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena kelak ia akan melayani suaminya. Disini informan mengatakan bahwa perempuan hanya nurut saja pada kemauan laki-laki. Apa yang disampaikan informan merupakan bukti bahwa nilai-nilai kesenjangan gender masih melekat dalam keluarga miskin.


  1. Kesenjangan gender dalam kehidupan berdemokrasi
Kehidupan berdemokrasi dalam keluarga termanifestasikan dalam kemampuan keluarga menyelesaikan persoalan secara musyawarah dan menuju pada kata mufakat. Selain itu, memberikan kebebasan berpendapat bagi seluruh anggota keluarga menjadi salah satu indikator penerapan kehidupan berdemokrasi dalam keluarga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Nur diketahui bahwa dalam keluarga mereka telah membiasakan bermusyawaraah untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi keluarga. Berikut informasinya dari informan;

“Kalu misalnyo dalem keluargo ado masalah biasonyo kami  musyawarah, yo dengan ngumpulke budak-budak ne ngomong bener-bener cak mano jalan keluarnyo”

“Kalau misalnya dalam keluarga ada masalah biasanya kami musyawarah, ya dengan mengumpulkan anak-anak membicarakan dengan benar bagaimana jalan keluarnya”

Mengenai hak berpendapat bagi anak menurut informan diberi kebebasan tetapi biasanya anak laki-laki yang lebih berani mengeluarkan pendapat sementara anak peempuan lebih banyak diam dan hanya menurut kemauan yang laki-laki. Hal ini menunjukkan ternyata anak perempuan masih bersikap pasif dan belum memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pendapat secara terbuka. Berikut ini pengakuan informan;

“ Oh…yo tentu boleh, namonyo wong nak ngomong dak apo-apo kito tampung dulu, tapi biasonyo anak betino ne galak diem bae, nurut bae apo kato wong tuo”

“ Oh…ya tentu boleh, namanya orang mau bicara tidak apa-apa saya tampung dulu, tapi biasanya anak perempuan ini sering diam saja, nurut saja apa kata orang tua”

Meskipun telah terdapat mekanisme musyawarah untuk mufakat tetapi ternyata keputusan terdapat pada kepala keluarga. Anggota keluarga hanya nurut apa keputusan tersebut. Berikut ini pengakuan informan;

 “Biasonyo kepala keluargo yang lain melok bae, kalu bini bapak ne dengerke apo kato aku be” (Bapak Akib 62 th, 18 oktober 2008)

“Biasanya kepala keluarga yang lain ikut saja, kalau istri bapak ini mendengarkan apa kata saya (suaminya) saja”

Informan Sri mengaku dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga biasanya kepala keluarga memanggil anak-anak dan istrinya untuk berembug bersama untuk menyelesaikan jalan keluar. Berikut pengakuan informan;

“Nyari jalan keluarnyo, biasonyo laki aku sebagai kepala keluargo ngomongi samo budak-budak, terus tu kito berembuk cak mano bagusnyo kan”

“Mencari jalan keluarnya, biasanya suami saya sebagai kepala keluarga membicarakan sama anak-anak, terus itu kita berembuk bagaimana bagusnya kan”

Dalam keluaraga informan anak laki-laki dan perempuan serta istri diberi kebebasan mengeluarkan pendapat oleh suaminya. Tetapi biasanya anak-anak dan informan hanya mengikuti pendapat suami/ayah mereka. Berikut penuturan informan;

“Yo dak papo, tapi kalu kami ne nurut bae apo kato laki aku”

“Ya tidak apa-apa, tapi kalau kami (istri dan anak-anak) menurut saja apa kata suami saya”

Ketika ditanya keputusan  keluarga diputuskan berdasarkan apa, informan mengaku suaminyalah yang memutuskan seperti pengakuannya berikut;
           
“Laki aku tula ageknyo yang betanggung jawab, nyari jalan keluarnyo, dio tula yang mutuske”

“Suami saya itu lah nantinya yang bertanggung jawab, mencari jalan keluarnya, dia itulah yang memutuskan”

Sama halnya dengan informan lain, informan Nova memberikan penjelasan tentang bagaimana mengatasi masalah rumah tangganya. Berikut penjelasan informan;

 “Diomongke samo anggota keluargo lain untuk nyari jalan keluarnyo”

“Dibicarakan dengan anggota keluarga lain untuk mencari jalan keluarnya”

Menurut informan baik anak perempuan maupun laki-laki diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat dalam memecahkan masalah sendiri maupun masalah keluarga. Tetapi biasanya yang sering ngomong anak laki-laki anak perempuan cenderung diam. Berikut informasi yang diberikan informan;

“Biasonyo yang galak ngomong tu anak lanang, anak-anak betino tu diem bae. Anak aku yang pertamo tu betino tapi sekarang lah melok lakinyo, paling banyak bapaknyo tula”
“Biasanya yang sering bicara itu anak laki-laki, anak-anak perempuan itu diam saja. Anak saya yang pertama itu perempuan tapi sekarang sudah ikut suaminya, paling banyak bapaknya (kepala keluarga) itulah”


Dalam hal pengambilan keputusan kelluarga, informan mengaku bahwa kepala keluargalah yang memutuskannya. Berikut pengakuan informan;


 “Laki aku itu lah, aman uji dio yo sudah, tapi aman uji dio idak jangan sekali-kali dilakuke, galak marah dio”

“Suami saya itu lah, kalau menurut dia (suami) iya, ya sudah, tapi kalau kata dia (suami) tidak jangan sekali-kali dilakukan, bisa marah dia (suami)”


  1. Kesenjangan gender dalam bidang ekonomi keluarga
Kesenjangan gender dalam bidang ekonomi dalam penelitian ini dilihat dari pengelolaan ekonomi keluarga berkaitan dengan penggunaan keuangan keluarga serta hak waris untuk anak mereka apakah ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut informan Nurhayati, selama anaknya sekolaah informanlah yang memberikan uang saku. Berikut pengnakuannya

Kalu dulu waktu budak-budak ne masih sekolah rasonyo adil aku galak ngasi duit jajan tu”

“Kalau dulu waktu anak-anak ini masih sekolah rasanya saya adil sering memberikan uang jajan itu “

Menurut informan tidak ada pembedaan jumlah uangsaku antara anak laki-laki dan perempuan. berikut penjelasannya;

 “Ai dak katek samo bae…kalu lain lokak ditangisinyo aku”

“Aduh tidak ada, sama saj....kalau berbeda kemungkinan anak-anak pada nangis sama saya ”

Ketika  di tanya apakah orang tua masih ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya apabila anak-anak mereka sudah menikah, informan mengaku ia hanya akan mengawasi saja seperti penuturannya sebagai berikut;

“Yo kalu lah kawen kami wong tuo ne ngawasi bae dari jauh, kalu ado masalah paling dinasehati bae”

“ya kalau sudah menikah kami orang tua ini ngawasi saja dari jauh, kalau ada masalah paling dinasehati saja”


Sementara itu, ketika informan ditanya apakah anak-anak i masih tinggal bersama orang tua ketika mereka sudah menikah, informan mengaku memang ada anak yang sudah menikah tapi masih serumah dengan keluarganya, karena belum memilki rumah sendiri. Berikut pengakuan informan;

“Ado anak aku yang baru kawen ini, kasian kan belum ado rumah belom pacak idup dewek, jadi sementaro ini biarlah dirumah, samo bininyo”

“Ada anak saya yang baru menikah ini, kasian kan belum ada rumah, belum bisa hidup sendiri, jadi sementara ini biarlah dirumah, sama istrinya”

Dalam hal pembagian warisan informan mengaku anak laki-laki mendapat bagian lebih banyak daripada anak perempuan. berikut pengakuan informan;

“Ai…dek mano nian yang dibageke, tapi yo paling-paling rumah borok inilah, tapi dalem keluargo kami ne anak lanang tu dapetnyo lebih banyak dari anak betino, olehnyo dio kan bakal tanggung jawab samo keluargonyo”

“Ai….dik mana yang mau dibagikan, tapi ya paling-paling rumah jelek inilah, tapi dalam keluarga kami ini anak laki-laki itu dapatnya lebih banyak dari anak perempuan, karena dia (anak laki-laki) akan bertanggung jawab dengan keluarganya”

Informan Nova mengaku ia berperan dalam memberikan uang saku pada anak mereka yang masih sekolah seperti pengakuannya sebagai berikut;

 “Sesuai dengan kebutuhan budak tulah kalu yang masih SD dak samo dengan yang sudah SMP, laki aku tu tukang becak pengahasilannyo jugo dak banyak lebih kurang 30 ribu sehari yo cukup apo, mangkonyo anak aku sekolah paling nyampe tamat SMP, sudah tu dak sanggup lagi jadi sekarang anak lanang aku la begawe di pasar 16”

“Sesuai dengan kebutuhan anak-anak itulah kalau yang masih SD tidak sama dengan yang sudah SMP, suami saya itu tukang becak, pengahasilannya juga tidak banyak lebih kurang 30 ribu sehari, ya cukup untuk apa, mangkanya anak saya sekolah paling tinggi tamat SMP, setelah itu tidak sanggup lagi jadi sekarang anak saya yang laki-laki saya sudah bekerja di pasar 16 Ilir”


Ketika ditanya apakah ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam memberikan uang saku, informan menyatakan sebagai berikut;

“ Ado lah, kalu anak lanang kan lah begawe jadi idak mintak duit samo aku lagi. Paling yang betino itu bae “
“Ada lah, kalau anak laki-laki kan sudah bekerja jadi tidak minta uang sama saya lagi, paling yang perempuan itu saja”


A.    FAKTOR PENYEBAB KESENJANGAN GENDER PADA KELUARGA MISKIN
Kesenjangan gender dalam masyarakat muncul bukan karena unsur
kesengajaan kali-laki semata tetapi ternyata berasal dari tradisi nenek moyang yang telah lama ada dan menjadi nilai budaya patriarkhi. Banyak faktor penyebab kesenjangan gender muncul dalam keluarga miskin. Berdasarkan hasil wawancara faktor kesenjangan gender dalam kelluarga miskin disebabkan oleh hal-hal yang akan diuraikan sebagai berikut;

a. Konstruksi Sosial Budaya tentang  gender


            Berdasarkan  hasil wawancara dengan informan Sri, budaya patriarkhi sudah ada sejak dahulu dan diteruskan sampai sekarang berikut pengakuan informan;

”Sebenernyo budaya lanang jadi dominan dalem masyrakat kito sekarang kan sudah ado sejak dulu, tapi ado yang cak di Padang yang betino lebih dihargoi oleh wong justru yang lanangnyo idak dihargoi, mungkin karno itu jugo karno sudah ado sejak dulu jadi yo sekarang neruske bae yang sudah ado”

”Sebenarnya budaya laki-laki jadi dominanan dalam masyarakat kita sekarang kan sudah ada sejak dahulu, tapi ada yang seperti di Padang yang perempuan labih dihargai oleh orang yang laki-lakinya tidak dihargai, mungkin karena itu juga karena sudah ada sejak dahulu ya jadi sekarang meneruskan saja yang sudah ada”


Sementara itu, informan Vera memberikan keterangan bahwa budaya patriarkhi sudah ada sejak nenek moyang. Berikut pengakuan informan;

”Pokoknyo sudah dari jaman nenek moyang dulu sudah ado kalu lanang itu jadi kepala keluargo, yo sampe mak ini ari cak itulah”

”Pokoknya sudah dari jaman nenek moyang dulu sudah ada kalau laki-laki itu jadi kepala keluarga, ya sampai sekarang seperti itulah”

Menurut informan Siska budaya patriarki yang ada dalam masyarakat sudah ada sejak dulu. Berikut penuturannya;

”Cak itulah kan sudah dari dulu kalu laki jadi pemimpin keluargo yo sudah....bapak aku dulu jugo samo bae, jadi sekarang aku sudah bekeluargo jalani bae apo yang sudah bejalan itu”

”Seperti itulah kan sudah dari dulku kalau suami jadi pemimpin keluarga ya sudah...bapak saya juga dulu sama saja, jadi sekarang saya sudah berkeluarga jalani saja apa yang sudah ada itu”

b. Paham Agama Bias Gender

Informan  umumnya mengaku bahwa faham agama mengandung bias gender sepereti diperkenankannya laki-laki berpoligami. Mereka menolak jijka suami mereka berpoligami. Berikut pengakuan para informan;

“Ai idak nian aku kalu dio bebini lagi.....gilo mada’i anak la banyak mak ini masih nak bebini lagi, lemak kalu kayo. Ini Cuma begawe jadi tukang becak nak bebini lagi nak dienjok makan apo, sedangke ini bae kurang”

“Aduh saya tidak terima kalau dia (suami) punya istri lagi.....Gila anak sudah banyak seperti ini masih mau beristri lagi, enak kalau orang kaya. Ini Cuma bekerja jadi tukang becak mau beristri lagi mau dikasih makan apa, sedangkan sekarang saja masih kurang”

“Idak apo kalu sanggup, aman pacak nak poligami dengan gaji 30 ribu sehari nyari nian aku betino mano yang galak, aman dak gilo”

“ Tidak apa-apa kalau sanggup, kalau bisa mau poligami dengan gaji yang 30 ribu sehari, saya mau menemukan perempuan mana yang mau, kecuali kalau sudah gila”

“Idak lah, dak boleh pokoknyo kalu dio nak poligami....kalu masih bae ceraike dulu aku baru boleh dio kawen lagi”

“Tidak lah, pokoknya dia tidak boleh kalau dia mau poligami...kalau masih saja mau poligami ceraikan saya dulu baru dia (suami) menikah lagi”

“Kalu poligami dalem agama kito kan diperbolehke, tapi ado syaratnyo kalu memang sanggup samo biso adil, tapi kalu memang belom sanggup dan dak biso adil lemak dak usahlah nak poligami”

“Kalau poligami dalam agama kita akan diperbolehkan, tapi ada syaratnya kalau memang sanggup sama bisa adil, tapi kalau memang belum sanggup dan tidak bisa adil lebih baik tidak usah poligami”

Sementara itu, jika suami membatasi ruang gerak istri ada variasi jawaban dari para informan sebagai berikut;

“Wajar bae sih....kan dio laki kito, jadi aman nak pegi kemano-mano nak izin samo dio tu, kalo dak boleh yo sudah”

“Wajar saja sih..kan dia suami kita, jadi kalau ingin pergi kemana-mana harus izin sama dia (suami), kalau tidak boleh ya sudah”


“Dak setuju aku, biarkelah kito ini kalu nak begawe tempat laen nyari lokak”

“Tidak setuju saya, biarkan lah kita ini kalau mau bekerja tempat lain mencari kesempatan”

 “Sebenernyo idak apo, tapi jangan dikekang nian oi....laju dak boleh keluar rumah, kalu bininyo tu nak begawe apo diluar kan lumayan nambai duit makan

“Sebenarnya tidak apa, tapi jangan dikekang sekali....lalu tidak boleh keluar rumah, mungkin saja istri mau bekerja apa diluar kan lumayan menambahi uang untuk makan”

 “Sebenernyo jadi masalah jugo sih, sementaro laki kito meraso berhak untuk ngelakuke itu, tapi kito ne kan perlu lah nak ado nyari gawe lain diluar sano, untuk biso jago biar asep dapor tu tetep ado”

“Sebenarnya jadi masalah juga sih, sementara suami kita merasa berhak untuk melakukan itu, tapi kita ini kan perlu lah mau mencari pekerjaan lain diluar sana untuk bisa menjaga agar asap dapur itu tetap ada”



1 comment: